Rancangan APBN 2026 mengusulkan alokasi dana pendidikan sebesar Rp757,8 triliun, diklaim sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Namun, besarnya anggaran ini justru memicu kekhawatiran. Sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), sementara kesejahteraan guru, terutama guru non-ASN, masih jauh dari harapan.
Presiden mengutarakan bahwa investasi pada pendidikan adalah kunci untuk menghasilkan sumber daya manusia unggul. Tetapi, realokasi anggaran yang signifikan untuk program MBG menimbulkan pertanyaan. Hampir setengah dari total anggaran, yakni Rp335 triliun, akan digunakan untuk program tersebut.
Di tengah pengumuman anggaran fantastis ini, pemerintah memberikan "kado" bagi guru, berupa insentif untuk guru non-ASN, subsidi upah untuk guru PAUD non-formal, dan beasiswa S1 bagi sejumlah guru. Namun, bantuan ini dinilai belum cukup untuk mengatasi masalah kesejahteraan guru yang telah lama mengakar.
Mila, seorang guru honorer PAUD di Jakarta Timur, merasakan betul ketidakpastian pendapatan. Gajinya yang hanya mengandalkan "saweran" orang tua, ditambah dana hibah dari Pemprov DKI, masih jauh dari kata layak. Ia terpaksa bekerja serabutan sebagai tukang masak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Harusnya yang adil," ujarnya, ketika mengetahui sebagian besar anggaran pendidikan dialihkan untuk MBG. Ia menyayangkan ketidakadilan ini, terutama jika dibandingkan dengan tunjangan fantastis yang diterima anggota DPR.
Alfian, seorang guru swasta non-ASN di Surabaya, menganggap alokasi anggaran untuk MBG sebagai "misorientasi". Menurutnya, dana sebesar itu seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah fundamental pendidikan, seperti peningkatan gaji guru.
Jumlah guru non-ASN di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa. Dengan anggaran MBG sebesar Rp335 triliun, sebenarnya setiap guru bisa mendapatkan sekitar Rp7 juta per bulan. Jumlah ini tentu dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara signifikan.
Pemerintah mengklaim bahwa program MBG telah meningkatkan kehadiran dan prestasi siswa di sekolah. Namun, P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru) menilai bahwa alokasi anggaran ini belum berdampak signifikan pada kesejahteraan guru non-ASN.
P2G mengidentifikasi sejumlah persoalan mendasar pendidikan yang perlu dibenahi, termasuk kesejahteraan guru, kualitas pembelajaran, dan fasilitas sekolah yang memadai. Mereka juga mengkritik program-program baru seperti Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda, yang dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) juga mendesak pemerintah untuk menghentikan alokasi anggaran pendidikan yang dinilai "ngawur". Mereka menekankan pentingnya fokus pada persoalan mendasar pendidikan yang lebih mendesak.
Walaupun ada "kado" HUT RI untuk guru, berupa insentif dan subsidi upah, nilainya justru berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Potongan pajak dan biaya administrasi bank juga mengurangi jumlah yang diterima guru.
Bagi Mila, bantuan subsidi upah sebesar Rp600.000 terasa sangat berarti. Namun, potongan-potongan yang ada membuatnya merasa kecewa. "Jangan dipotong-potong Rp600.000, kita kan enggak makan sendiri," keluhnya.
Alfian menilai bahwa bantuan insentif guru sarat dengan muatan politis. "Seakan-akan dibantu. Padahal hak dasarnya saja belum terpenuhi," tegasnya.
Anggaran pendidikan memang terbesar dalam sejarah, tetapi pertanyaan besar tetap menggantung: apakah anggaran ini benar-benar akan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru di Indonesia?