Kisruh Royalti Musik: Persamaan dan Perbedaan Sistem di Indonesia dan Australia

Perselisihan terkait royalti lagu bukan hanya masalah di Indonesia. Negeri Kanguru, Australia, pun pernah mengalami hal serupa.

Di Indonesia, Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Musik Indonesia (LMK Selmi) pernah melaporkan sebuah perusahaan bakmi karena memutar lagu tanpa izin. Setelah mediasi, perusahaan tersebut setuju membayar royalti miliaran rupiah.

Di Australia, sebuah bar di Melbourne juga terbukti melanggar hak cipta musik dan dihukum membayar ganti rugi ratusan ribu dolar Australia karena mengabaikan upaya lembaga pengumpul royalti untuk menghubunginya.

Lantas, mengapa royalti itu penting? Sederhananya, royalti adalah kompensasi bagi pemilik karya yang digunakan secara luas. Hak ini dilindungi undang-undang baik di Indonesia maupun Australia.

Di Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta menjamin hak moral dan ekonomi pencipta. Peraturan Pemerintah juga mengatur detilnya. Sementara di Australia, Copyright Act mewajibkan izin dari pemilik hak cipta untuk setiap pemutaran musik di ruang publik.

Bagaimana Royalti Dikumpulkan dan Didistribusikan?

Di Indonesia, royalti dikumpulkan dan didistribusikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang diberi kuasa oleh pencipta. Pencipta harus menjadi anggota LMK untuk menerima royalti. Ada beberapa LMK di Indonesia, seperti LMK Selmi, Wami, dan KCI. LMK kemudian menunjuk wakil ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengguna musik membayar royalti ke LMKN, lalu LMKN membagikannya ke LMK. Sebesar 20 persen dari total royalti digunakan untuk operasional LMK dan LMKN.

Di Australia, terdapat dua lembaga kolektif utama: APRA AMCOS (untuk penulis lagu, komposer, dan penerbit) dan PPCA (untuk artis rekaman dan label rekaman). Sejak 2019, keduanya membentuk OneMusic, satu-satunya lembaga yang menyediakan lisensi menyeluruh bagi pelaku usaha untuk memutar musik. Sistem di Australia lebih sederhana karena terpusat. OneMusic menggunakan teknologi pengenal musik untuk melacak lagu yang diputar dan memastikan royalti sampai ke pemilik hak.

Siapa yang Wajib Membayar Royalti?

Pemilik usaha yang memutar musik di ruang publik untuk menarik pelanggan wajib membayar royalti. Ini termasuk kafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, transportasi umum, bioskop, karaoke, stasiun TV dan radio, serta penyelenggara konser. Di Australia, jenis industri yang memerlukan lisensi dikelompokkan menjadi sembilan kategori, mulai dari olahraga hingga perhotelan.

Kisah Pengusaha Indonesia di Australia

Seorang pemilik restoran Indonesia di Melbourne bernama Iwan, baru mengetahui aturan royalti setelah menjalankan bisnisnya. Ia kemudian mengurus lisensi ke OneMusic. Untuk restorannya yang berkapasitas 30 kursi, ia harus membayar sekitar Rp640 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan, tergantung paket lisensi yang dipilih. Jika restorannya berada di Indonesia, ia hanya perlu membayar sekitar Rp3,6 juta per tahun.

Kekhawatiran yang Sama

Iwan khawatir royalti yang dibayarkannya benar-benar sampai ke musisi Indonesia. Kekhawatiran serupa juga terjadi di Indonesia. Penyanyi Ari Lasso mempertanyakan royalti yang diterimanya dari LMK Wami. Bahkan, beberapa musisi seperti Ahmad Dhani dan Rhoma Irama menggratiskan lagu mereka untuk diputar tanpa royalti. Namun, hal ini rumit karena ada hak label rekaman yang juga perlu diperhatikan. Wami tetap akan menagih royalti, meskipun beberapa musisi sudah menggratiskan lagu mereka.

Scroll to Top