Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh terus membebani PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI dengan utang yang besar. KAI, sebagai pemegang saham utama, kini didesak untuk menemukan cara agar tidak semakin terjerat dalam kewajiban membayar pinjaman ke China Development Bank (CDB) yang mencapai miliaran dolar AS.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) menyarankan beberapa opsi untuk mengatasi masalah ini, di antaranya pengembangan kawasan berbasis Transit Oriented Development (TOD), peningkatan jumlah penumpang Whoosh, dan penjualan sebagian saham pemerintah kepada investor strategis.
Pengembangan kawasan TOD dinilai sebagai solusi yang paling realistis untuk menciptakan sumber pendapatan baru di luar penjualan tiket. Kawasan di sekitar stasiun Halim atau stasiun pemberhentian lainnya dapat dikembangkan oleh anggota konsorsium yang memiliki akses dan konsesi lahan. Model bisnis Japan Railways East (JR-East) yang sukses meraup pendapatan dari pengelolaan kawasan di sekitarnya dapat menjadi contoh.
Namun, pengembangan kawasan membutuhkan investasi tambahan yang cukup besar. Untuk itu, sebagian beban utang dapat dialihkan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, sehingga KAI memiliki ruang untuk berinvestasi dalam pengembangan kawasan.
Peningkatan jumlah penumpang Whoosh juga sangat penting. Saat ini, tingkat keterisian kereta cepat masih di bawah target yang diharapkan, sehingga pendapatan dari penjualan tiket belum cukup untuk menutupi biaya operasional dan bunga pinjaman. Strategi agresif untuk meningkatkan okupansi sangat diperlukan, karena cicilan bunga pinjaman saja mencapai sekitar Rp2 triliun per tahun.
Opsi lainnya adalah melepas sebagian kepemilikan saham pemerintah melalui KAI untuk menarik investor strategis baru. Pemerintah dapat mencari investor yang bersedia membeli sebagian saham di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Tantangannya adalah menemukan investor yang tertarik untuk berinvestasi dalam proyek ini.
Restrukturisasi yang tepat sangat penting agar KAI tidak semakin tertekan. Jika beban utang tidak segera dikelola dengan baik, risiko terhadap operasional dan keuangan KAI dapat meningkat.