Israel telah berulang kali mencoba untuk "menaklukkan" atau menetralisir Hamas di Gaza sejak 2008, namun selalu menemui jalan buntu. Meskipun didukung kekuatan militer modern, teknologi canggih, dan dukungan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat, kemenangan total tetap menjadi mimpi yang tak terwujud.
Gaza tetap menjadi pusat perlawanan, meskipun menghadapi gempuran udara, operasi darat, dan blokade yang menghancurkan infrastruktur sipil dan militer. Kegagalan ini bukan hanya masalah militer, tetapi juga kompleksitas sosial, politik, hukum internasional, dan dinamika regional. "Penaklukan Gaza" dengan senjata saja tampak mustahil.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa Israel selalu gagal menaklukkan Gaza:
1. Labirin Bawah Tanah: Medan Tempur yang Mustahil
Gaza adalah salah satu wilayah perkotaan terpadat di dunia. Pertempuran di area perkotaan padat sangat sulit: jarak pandang pendek, banyak titik tembak dari bangunan ke bangunan, risiko jebakan 360 derajat, dan kebutuhan infanteri besar untuk menguasai setiap blok. Keunggulan teknologi modern menyusut karena kontak dekat meminimalkan manfaat intelijen dan daya tembak jarak jauh.
Kesulitan ini diperparah oleh jaringan terowongan bawah tanah ("Gaza metro") yang luas, berlapis, dan saling terhubung. Panjangnya diperkirakan antara 560–720 km, bahkan ada yang menyebut 500–600 km, dengan kedalaman bervariasi, diperkuat beton, dialiri listrik dan ventilasi. Terowongan ini digunakan untuk manuver, komando, penyimpanan, dan menahan sandera. Menghancurkan terowongan membutuhkan waktu, logistik, dan amunisi khusus. Menutup satu poros seringkali melahirkan tiga poros baru. Penguasaan wilayah di atas permukaan tidak berarti penghancuran kemampuan tempur di bawah tanah.
2. Tujuan Perang yang Berubah-ubah dan Ambigu
Israel menyatakan tujuan "menghancurkan Hamas," membebaskan sandera, menghentikan tembakan roket, dan menciptakan tatanan baru di Gaza. Tujuan-tujuan ini sering berbenturan. Operasi intensif untuk memburu komando Hamas meningkatkan risiko bagi sandera, sementara penghentian operasi untuk negosiasi menyisakan kantong-kantong Hamas yang utuh. Tujuan yang bergerak antara penghukuman, pembasmian, pencegahan, dan rekayasa politik membuat desain kampanye sulit konsisten dan "akhir kemenangan" menjadi kabur.
Eliminasi total Hamas di ekosistem Gaza tanpa arsitektur politik penerus nyaris mustahil. Kekaburan "siapa memerintah Gaza setelah perang" menjadi penghambat strategis utama. Washington berulang kali menekan agar ada rencana "day-after," namun tidak ada konsensus operasional yang diterapkan. Ketika tujuan akhir politik tidak solid, operasi militer cenderung berputar dalam siklus "bersihkan-tinggalkan-kembali lagi."
3. Sandera: Kendala Etis, Politik, Operasional
Keberadaan sandera Israel di Gaza menciptakan batasan kuat terhadap opsi militer. Setiap keputusan eskalasi bisa memperburuk keselamatan sandera dan memicu tekanan domestik agar pemerintah memprioritaskan deal daripada ofensif. Hamas memanfaatkan variabel sandera sebagai leverage strategis untuk menunda, menukar, atau membatasi operasi Israel.
4. Biaya Manusia dan Tekanan Hukum Internasional
Operasi besar Israel di Gaza memicu korban sipil dan kehancuran infrastruktur dalam skala yang memantik kecaman global dan intervensi institusi internasional. Tekanan ini bukan sekadar reputasional, tetapi menjadi pembatas politik terhadap durasi, intensitas, dan jenis amunisi/operasi yang dapat digunakan Israel. Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) terkait kewajiban mencegah tindakan genosida dan menjamin bantuan kemanusiaan menjadi rujukan diplomatik di forum internasional. Kritik dan sanksi normatif mempersempit ruang gerak Israel, misalnya lewat penundaan bantuan persenjataan oleh mitra kunci.
5. Hambatan Logistik di Wilayah Porak-poranda
Menyerbu kota adalah satu hal, menahannya, menstabilkan, dan membangun ulang sambil mencegah insurgensi adalah hal lain yang jauh lebih berat. Untuk benar-benar "menaklukkan" Gaza, Israel memerlukan kontrol intensif blok-demi-blok plus solusi stabilisasi sipil: layanan air, listrik, kesehatan, keamanan lokal, distribusi bantuan di tengah populasi yang mengungsi berulang kali. Pasukan Israel harus mengalokasikan personel besar untuk tugas non-tempur. Setiap jeda atau rotasi membuka peluang infiltrasi kembali pejuang bawah tanah. Karena banyak infrastruktur hancur, setiap "zona aman" yang dibentuk sementara rentan kolaps. Siklus ini menghasilkan operasi berulang di distrik yang sama, menguras stamina pasukan, menambah risiko korban, dan merusak legitimasi operasi.
6. Kerugian Militer Israel
Meskipun unggul daya tembak dan teknologi, perang kota dan terowongan memaksa IDF berhadapan jarak dekat, meningkatkan kerentanan terhadap IED, penembak runduk, dan sergapan. Ratusan prajurit Israel tewas dan ribuan luka sejak operasi darat Oktober 2023. Angka ini, meski lebih kecil ketimbang korban di pihak Palestina, tetap menimbulkan tekanan domestik, terutama di tengah mobilisasi reservis berkepanjangan. Hamas tidak perlu "menang telak," cukup bertahan, melukai, dan memaksa operasi Israel berputar untuk mencapai tujuan politiknya: kelangsungan eksistensi dan narasi perlawanan.
7. Kesenjangan Intelijen dan Adaptasi Lawan
Kampanye udara/ISR awal memang memukul target-target bernilai tinggi, namun Hamas beroperasi secara desentralisasi dan adaptif: komando berpindah ke bawah tanah, komunikasi berlapis, dan struktur sel yang luwes. Setiap kali Israel menyatakan "membersihkan" wilayah tertentu, sel-sel baru dapat muncul dari poros yang belum tersentuh atau dari terowongan yang tidak terdeteksi. Karena jaringan sipil dan militer melebur, akurasi intelijen tak serta merta menerjemah ke efek operasional yang bersih tanpa collateral damage. Wilayah yang "dikuasai" sering kembali menjadi ajang kontak senjata.
8. Variabel Eksternal: Tekanan Sekutu, Embargo Selektif, Opini Publik
Israel sangat bergantung pada dukungan diplomatik dan logistik sekutu. Ketika korban sipil melonjak, Washington meninjau/menahan pengiriman munisi tertentu. Tekanan dari Eropa dan PBB menciptakan pagar pembatas terhadap sejauh mana Israel dapat memperluas, memperdalam, dan memperlama operasi. Kampanye sering diinterupsi jeda, negosiasi, dan kompromi yang memberi lawan waktu untuk beradaptasi.
9. Lingkaran Setan Kemanusiaan-Keamanan
Keruntuhan layanan dasar dan perpindahan massal menambah penderitaan warga dan memicu kemarahan publik regional/global. Krisis kemanusiaan besar juga memperumit operasi kontra-insurgensi. Kerja sama warga untuk memberi intel kepada pasukan asing/pendudukan turun. Legitimasi aktor bersenjata lokal di sebagian komunitas justru bisa naik. Tanpa jalan keluar politik yang kredibel, operasi militer justru "menggiling" tanpa keputusan, sementara jaringan pro-Hamas dapat kembali merekrut dan menyusun ulang.
10. Politik Domestik Israel dan Kalkulus Keputusan
Perang panjang menggerus kesabaran publik dan meruncingkan perbedaan di elite Israel: antara prioritas membebaskan sandera vs mendorong ofensif lanjutan, antara ekspansi operasi vs menghindari isolasi internasional. Ketika perhitungan politik domestik bercampur dengan keputusan militer, konsistensi strategi bisa terganggu. Ambivalensi membuat lawan dapat bermain waktu, sementara pasukan di lapangan menghadapi siklus operasi yang melelahkan.