Industri Tekstil Nasional Dipertanyakan: Kemenperin Soroti Ketidakpatuhan dan Lonjakan Impor

Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti pentingnya transparansi dan kepatuhan administratif bagi industri tekstil nasional, khususnya sektor hulu yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI), guna menjaga daya saing.

Data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) menunjukkan tingkat kepatuhan pelaporan industri anggota APSyFI masih rendah. Dari 20 perusahaan anggota, hanya 15 yang aktif melaporkan kegiatan industri mereka, sementara sisanya lalai.

"Kewajiban pelaporan merupakan bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi," tegas Kemenperin.

Kemenperin menemukan anomali dalam kinerja industri anggota APSyFI. Di tengah permintaan asosiasi untuk memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor oleh anggotanya sendiri.

Data menunjukkan, volume impor benang dan kain oleh perusahaan anggota APSyFI melonjak lebih dari 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).

"Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat atau API Umum untuk impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini kontradiktif," ujarnya.

Pemerintah telah memberikan berbagai perlindungan dan insentif fiskal bagi industri hulu tekstil, seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) yang berlaku sejak 2010 hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) hingga 2025, Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Benang dari serat sintetis hingga 2026, serta BMTP Kain hingga 2027.

"Industri anggota APSyFI telah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor, namun tidak diimbangi dengan investasi baru atau modernisasi teknologi," jelas Kemenperin.

Kebijakan rekomendasi impor dan perlindungan industri didasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan antara hulu, intermediate, dan hilir. Industri hilir yang berorientasi ekspor diberikan kemudahan agar kompetitif, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor.

Kemenperin memperingatkan, jika usulan BMAD dengan tarif 45% diterapkan, berisiko menyebabkan PHK hingga 40.000 pekerja di industri hilir.

"Potensi PHK di sektor hulu masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal," tegasnya.

Sektor tekstil sendiri mencatat pertumbuhan positif di kuartal I dan II 2025. Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif dan mengedepankan kolaborasi serta kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik.

Scroll to Top