Gaji Fantastis DPR: Antara Etika Minim dan Beban Rakyat

Deru kereta mengantarkan saya menjauh dari riuhnya Jakarta, tempat KRL penuh sesak mengangkut para komuter yang berjuang setiap hari. Terlintas di benak, mampukah gaji mereka mencukupi hidup layak, atau sekadar bertahan?

Saya sendiri adalah komuter, rela menempuh 80 kilometer setiap hari dari Serang ke Jakarta demi mencari nafkah. Waktu bersama keluarga terkorbankan, demi sesuap nasi.

Ironisnya, anggota DPR mengeluhkan perjalanan satu setengah jam dari Bintaro ke Senayan, lalu memutuskan menyewa apartemen seharga Rp50 juta per bulan. Bahkan, ada yang mengaku nombok dengan biaya sewa Rp3 juta per hari.

Angka ini menyentil nurani. Uang rakyat, dari keringat para komuter yang berdesakan, digunakan untuk membiayai kemalasan anggota dewan yang tak mau bangun pagi. Sewa sehari Rp3 juta setara dengan upah bulanan rata-rata pekerja Indonesia.

Upah minimum Jakarta sekitar Rp5 juta, berarti sebulan gaji tak cukup untuk dua hari sewa anggota DPR. Pajak yang dibayarkan pekerja bergaji Rp5 juta per bulan sekitar Rp961 per hari. Bayangkan, ribuan pekerja patungan untuk membiayai satu malam anggota dewan!

Krisis Etika di Gedung Parlemen

Anggota dewan seolah abai terhadap realita. Di tengah kesulitan ekonomi, mereka justru menyuarakan kebutuhan sewa tempat tinggal. Padahal, mereka sudah menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, di saat jutaan rakyat kesulitan memiliki hunian.

Backlog perumahan mencapai 9,9 juta unit. Harga rumah terus melambung, jauh melampaui kenaikan gaji. Tahun lalu, harga rumah naik 1,96%, sementara gaji hanya naik 1,8%.

Data menunjukkan 11% masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah dari warisan atau hibah. Ini menunjukkan betapa bergantungnya mereka pada bantuan untuk memiliki hunian.

Sebanyak 24% masyarakat belum punya rumah karena tak punya dana. Sebagian dari mereka adalah pembayar pajak yang membiayai tunjangan rumah anggota DPR. Ironis, rakyat diminta iuran Tapera, sementara anggota dewan menikmati fasilitas rumah dinas di Kalibata dan Ulujami.

Selain pola pikir yang jauh dari realita, anggota dewan juga menunjukkan minim etika. Gaji dan tunjangan yang fantastis, mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan, masih ditambah tunjangan rumah.

Pendapatan anggota DPR 14 kali lebih tinggi dari PDB per kapita masyarakat Indonesia yang hanya Rp8,5 jutaan per bulan. Dibandingkan dengan rata-rata upah Rp3,1 juta, pendapatan anggota DPR 32 kali lebih besar!

Sebagai perbandingan, pendapatan anggota parlemen Malaysia memang hampir sama (sekitar Rp100 juta per bulan), namun hanya 6,6 kali lebih tinggi dari PDB per kapita penduduk Malaysia.

Prioritas Anggaran yang Tersesat

Pemerintah masih terus melakukan efisiensi anggaran, termasuk di sektor pendidikan dan transfer ke daerah. Anggaran pendidikan memang meningkat, namun sebagian dialokasikan untuk program makan bergizi gratis (MBG).

Anggaran MBG mencapai 30% dari anggaran pendidikan, atau sekitar Rp223,6 triliun. Ini berarti sektor pendidikan harus berhemat 22% untuk mengakomodasi program tersebut.

Transfer ke daerah juga turun hingga 24,8%. Padahal, kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah terus meningkat. Akibatnya, pemerintah daerah terpaksa mencari cara untuk menambal defisit, salah satunya dengan menaikkan tarif pajak daerah.

Dengan jumlah 732 anggota DPR dan DPD, ada tambahan anggaran sekitar Rp439,2 miliar setiap tahun. Anggaran ini bisa digunakan untuk menggaji 12,2 ribu guru honorer dengan gaji Rp3 juta per bulan. Ironisnya, banyak guru honorer yang hanya dibayar Rp300 ribu per bulan.

Sudah saatnya kita menuntut wakil rakyat di Senayan untuk berpikir, berempati, dan memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat. Uang negara yang berasal dari pajak kita harus digunakan secara transparan dan akuntabel.

Kepada anggota DPR yang terhormat, cobalah bangun lebih pagi, berangkat lebih awal, atau naik KRL dari Bintaro ke Senayan. Mungkin dengan begitu, akan lebih memahami realita yang dihadapi rakyat yang diwakilinya.

Scroll to Top