Rencana penayangan film berjudul "Pangarasa" pada 31 Agustus mendatang menuai kecaman keras dari berbagai lapisan masyarakat Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Isu ini menjadi topik hangat di warung-warung kopi di Panyabungan, dengan kekhawatiran utama mengenai dampak negatif yang mungkin timbul bagi citra masyarakat Madina di masa depan.
"Pangarasa," yang berarti "tukang racun" dalam bahasa Mandailing Natal, dianggap sebagai aib dan momok bagi masyarakat setempat. Pada era 70-an, stigma "pangarasa" dapat merusak reputasi keluarga, mempersulit urusan bisnis, dan bahkan memengaruhi peluang pernikahan bagi anak gadis.
Seorang pelanggan warung kopi di Kota Siantar, Rojak, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penayangan film ini. Menurutnya, jika dilakukan survei di seluruh warung di Madina, 90% masyarakat akan menolak penayangan film tersebut karena dianggap mencoreng nama baik daerah.
Ismed Harahap, tokoh masyarakat Madina, senada dengan Rojak. Ia menambahkan bahwa masyarakat Madina selama ini sudah risih dengan stereotip "Manipol" (Mandailing Polit) yang sering dilontarkan orang luar. Ia khawatir film "Pangarasa" akan semakin memperburuk citra daerah. Ismed mencontohkan keberhasilan Tapanuli Selatan (Tapsel) mengangkat citra daerah melalui film "Salak Sibakkua," yang secara positif mengidentifikasi Tapsel dengan buah salak. Ia mempertanyakan kesiapan masyarakat Madina jika film "Pangarasa" justru melabeli mereka dengan stigma negatif.
Ismed Harahap menyayangkan dugaan keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) Madina dalam produksi film ini. Ia berharap Pemda Madina mempertimbangkan kembali rencana penayangan film tersebut dan mengimbau mahasiswa, tokoh masyarakat, dan tokoh adat Madina untuk memberikan tanggapan terhadap isu ini.