Pemerintah mendapat sorotan karena dianggap tidak adil dalam menindak organisasi masyarakat (ormas) yang seringkali membuat keributan dan meresahkan publik. Seharusnya, pemerintah atau aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan tegas, serupa dengan perlakuan terhadap Front Pembela Islam (FPI) dan HTI.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menyatakan bahwa Undang-Undang Ormas dapat dimanfaatkan pemerintah untuk melakukan evaluasi. Ia mengingatkan bahwa ormas yang mengganggu ketertiban telah menyimpang dari esensi berdemokrasi. Pemerintah diminta untuk tidak ragu bertindak karena aparat siap menangani masalah keamanan dan ketertiban.
"Jika perlu, berikan sanksi berupa pembubaran. Kita pernah membubarkan HTI dan FPI karena mereka tidak memperkuat persatuan Indonesia," tegas Aria. Ia juga menambahkan, "Jangan sampai ada organisasi yang merasa berhak melakukan penetrasi atau membuat kekacauan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa."
Sorotan terhadap aksi premanisme ormas semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir, terutama menjelang Idulfitri. Baru-baru ini, ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya diduga menyerang dan membakar mobil polisi saat penangkapan pimpinannya di Kota Depok, Jawa Barat.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah menginstruksikan agar Kota Depok bebas dari premanisme dan berjanji akan melakukan pembinaan terhadap ormas tersebut.
Namun, Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, mengaku kebingungan dengan sikap pemerintah yang terkesan merangkul ormas daripada menindak tegas. Ia menyayangkan tidak adanya pernyataan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pembina ormas, maupun dari Polri sebagai pembina Kamtibmas.
"Ini yang membingungkan. Kemendagri selaku pembina tidak pernah berkomentar, dan Polri sebagai pembina kamtibmas tidak membuat kegiatan khusus untuk mengawasi atau menindak mereka," ujar Adrianus. "Bahkan, pemerintah justru terlihat merangkul. Elemen pemerintah yang memberikan respons keras, seperti Dedi Mulyadi, malah mendapat tantangan."
Adrianus berpendapat bahwa tidak semua elemen pemerintah berani bersikap dan berbicara tegas mengenai isu ini. Ia menduga, masih ada pihak-pihak yang menganggap ormas memiliki fungsi atau manfaat tertentu.
Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto, menjelaskan bahwa aksi premanisme ormas telah lama terjadi dan menjadi rahasia umum, seringkali dilakukan di tempat wisata, kawasan industri, kuliner, hingga prostitusi.
Menurut Soeprapto, tujuan ormas mungkin baik, tetapi cara yang mereka gunakan seringkali keliru dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Ia menyarankan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi, tetapi usulan pembubaran harus dikaji secara matang.
"Evaluasi memang sangat diperlukan, tetapi pembubaran harus dikaji sebaik mungkin. Siapa tahu, setelah evaluasi, peringatan, dan pembinaan, mereka bisa berubah," kata Soeprapto. "Penanganannya harus bertahap dan selektif, karena tidak sedikit pula aktivitas ormas yang positif."