Dalam persidangan kasus dugaan investasi bodong yang menjerat mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih (ANS Kosasih), dan mantan Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto, seorang saksi kunci bernama Yannes Mangapul Panjaitan mengungkapkan fakta mengejutkan. Yannes, seorang karyawan swasta, mengaku pernah menjadi perantara penyampaian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Kosasih.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Yannes menjelaskan bahwa temuan BPK terkait reksa dana I-Next G2, yang menjadi fokus utama kasus ini, diterimanya dari anggota BPK, Daniel Tobing. Anehnya, temuan tersebut justru diminta Daniel untuk diserahkan kepada Kosasih, yang kala itu menjabat sebagai Dirut Taspen, untuk "dicek".
"Ini agak aneh karena auditor masa suruh ngecek kepada orang yang diperiksa?" ujar Jaksa Penuntut Umum, mempertanyakan logika di balik tindakan tersebut.
Yannes sendiri mengakui bukan pegawai BPK, namun ia memiliki akses ke informasi tersebut dan bahkan pernah diminta Kosasih untuk mengatur pertemuan dengan pihak BPK. Jaksa mencecar Yannes terkait kapasitasnya dalam menghubungkan BPK dan Kosasih, serta perannya dalam dugaan upaya mengubah temuan BPK.
"Kapasitas Anda sebagai apa? Siapa yang mengutus Anda untuk berhubungan mau jadi penghubung antara BPK dengan Terdakwa?" tanya Jaksa.
Yannes mengaku hanya diminta mengirim pesan dan mencoba menjawab pertanyaan berdasarkan pengetahuannya. Namun, keterlibatannya sebagai penghubung pesan, mengatur pertemuan, dan bahkan menyampaikan saran terkait temuan BPK menimbulkan pertanyaan besar tentang independensi proses audit.
Sidang juga mengungkap bahwa Yannes menerima sejumlah uang dari Kosasih dalam kurun waktu 2020-2023, dengan total mencapai Rp 600-700 juta. Jaksa menanyakan perihal alasan pemberian uang tersebut.
Kosasih dan Ekiawan didakwa melakukan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 1 triliun dalam investasi fiktif reksa dana I-Next G2. Kosasih juga dituduh memperkaya diri sendiri hingga puluhan miliar rupiah dan berbagai mata uang asing. Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.