Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sorotan tajam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR terkait Rancangan Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) 2026 dan evaluasi kinerja Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2025. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 sebesar 5,12% yang dirilis BPS menjadi pusat perdebatan.
Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, secara khusus meminta penjelasan terkait tuduhan rekayasa data pertumbuhan ekonomi yang diangkat oleh sebuah majalah berita. Ia menyoroti adanya dugaan manipulasi metodologi dan pengambilan data oleh BPS untuk menciptakan citra positif pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keraguan serupa juga diungkapkan oleh Anggota Komisi X DPR lainnya, La Tinro La Tunrung. Ia mempertanyakan validitas data BPS karena adanya perbedaan signifikan dengan prediksi dari lembaga keuangan lainnya. La Tinro menyebutkan, dua bank memprediksi pertumbuhan ekonomi berada di angka 4,78% dan 4,79%, jauh di bawah angka yang dirilis BPS.
La Tinro menekankan pentingnya akurasi data dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Ia menyoroti potensi risiko kesalahan fatal jika pemerintah bergantung pada data yang keliru. Selain itu, ia mempertanyakan efektivitas anggaran besar yang dialokasikan untuk BPS, yaitu mencapai Rp 7 triliun, jika data yang dihasilkan ternyata tidak akurat.
Menanggapi tuduhan tersebut, Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan bahwa lembaganya bekerja berdasarkan data dan fakta yang dikumpulkan melalui survei dan data administrasi. Ia menjelaskan bahwa BPS tidak membuat proyeksi atau perkiraan, melainkan mengukur berdasarkan data yang ada.
Amalia menambahkan, BPS menyajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ia menekankan pentingnya konsistensi data antara agregasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di 38 provinsi dengan PDB nasional, dan proses ini dilakukan dalam waktu 35 hari kerja.