Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa praktik pinjaman online (pinjol) ilegal masih menjadi masalah serius yang meresahkan masyarakat. Bunga pinjaman yang sangat tinggi dan teror penagihan yang kejam menjadi ciri khas pinjol ilegal, yang kerap disebut sebagai predatory lending.
Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah mencontohkan kasus di Sleman, di mana pinjol ilegal mengenakan bunga hingga 4% per hari. "Pinjam Rp 3 juta, dalam hitungan bulan bisa membengkak jadi Rp 30 juta. Ini jelas predatory lending," tegasnya dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang mengutip data OJK menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah entitas pinjol ilegal mencapai 3.240, jauh melampaui jumlah platform pinjaman daring resmi yang hanya 97. Fakta ini menggambarkan betapa pinjol ilegal masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
"Pinjol ilegal masih menjadi ancaman. Bahkan, industri kami ingin menjauhi sebutan ‘pinjol’ karena konotasinya yang negatif," imbuhnya.
Kuseryansyah juga menyinggung pembatasan bunga pinjaman menjadi 0,8% sebagai upaya OJK dalam memberantas pinjol ilegal, bukan hasil kolusi antar pelaku industri. "Ada batas atas atau ceiling price untuk bunga. Platform yang ingin menerapkan standar lebih rendah, silakan saja. Namun, jika melebihi 0,8%, itu sudah mendekati predatory lending dan kurang melindungi konsumen," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi yang sempat dipermasalahkan oleh KPPU telah dicabut pada 8 November 2023, sejalan dengan pemberlakuan SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang diterbitkan OJK.
"Kami tegaskan tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antar platform di 2018-2023. Setelah SEOJK 19-SEOJK.06-2023 berlaku, kami mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi," pungkasnya.