Gelombang kritik terhadap pemerintah Indonesia terkait penanganan isu Papua semakin menguat. Pemerintah dinilai terlalu cepat memberikan label "makar" pada berbagai aktivitas yang sebenarnya merupakan ekspresi aspirasi masyarakat. Puluhan kasus "politisasi pasal makar" tercatat sejak demonstrasi anti-rasisme tahun 2019.
Keadaan ini disoroti oleh Emanuel Gobay, dari YLBHI, yang menyebut respons pemerintah "sangat, sangat over reaktif." Contoh nyata adalah penetapan status tersangka makar terhadap empat warga Sorong: Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai. Mereka dianggap melakukan makar hanya karena mengirimkan surat berkop Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) kepada Gubernur Papua Barat Daya. Surat itu berisi permohonan agar gubernur memfasilitasi dialog damai antara Presiden Prabowo dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.
Alih-alih difasilitasi, keempatnya justru ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka makar. Situasi semakin memanas ketika lokasi persidangan dipindahkan dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan, memicu gelombang protes di Sorong.
Akibatnya, kepolisian Papua Barat Daya menangkap sepuluh orang setelah unjuk rasa menolak pemindahan empat tahanan politik Papua tersebut berujung ricuh. Kapolda Papua Barat Daya, Brigjen Pol Gatot Haribowo, mengklaim bahwa kesepuluh orang yang ditahan terkait dengan bentrokan dan dugaan perusakan rumah pribadi Gubernur Papua Barat Daya.
Sebelumnya, massa melampiaskan amarah dengan menyerang kantor pemerintah setelah pemindahan empat tahanan politik (tapol) tetap dilakukan. Bentrokan antara massa dan polisi tak terhindarkan, dengan penggunaan gas air mata oleh aparat yang dibalas lemparan batu oleh pengunjuk rasa. Akibatnya, dilaporkan ada warga sipil yang terluka.
Unjuk rasa ini awalnya digelar di depan Mapolresta Sorong Kota sebagai bentuk protes atas penahanan empat tapol Papua: Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai, yang ditangkap terkait kasus NFRPB. Para pengunjuk rasa menuntut agar mereka tidak dipindahkan ke Makassar untuk diadili, menganggap proses pemindahan itu "cacat prosedur" dan mencurigai adanya "politisasi hukum".
Kuasa hukum para terdakwa, Yan Warinussy, menjelaskan bahwa keempatnya ditangkap setelah mengirim surat dari Presiden NFRPB kepada Gubernur Papua Barat Daya yang berisi permintaan fasilitasi perundingan damai. Abraham Goram Gaman mengklaim diri sebagai Staf Khusus Presiden NFRPB, sementara Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai disebut sebagai anggota polisi dan militer NFRPB yang mendampinginya.
Yan Warinussy mengaku tidak diberitahu alasan pemindahan keempatnya ke Makassar, namun ia mendengar kabar bahwa hal itu terkait surat dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Sorong kepada Mahkamah Agung (MA) dengan alasan keamanan. Ia menilai alasan keamanan tersebut dibuat-buat, mengingat banyaknya personel keamanan di Sorong.
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengkritik pemerintah yang terlalu mudah melabeli ekspresi kebebasan masyarakat Papua sebagai aksi makar. Pemerintah dinilai memiliki standar ganda dalam memaknai ekspresi kebebasan masyarakat Papua, mencontohkan kasus Buchtar Tabuni dan Hellesvred Bezaliel Soleman Waropen.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar, mendesak pemerintah untuk menghentikan sikap reaktif tersebut, karena dikhawatirkan akan semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia. Senada dengan hal ini, Emanuel Gobay menyebut sikap reaktif hanya akan semakin menumbuhkan nasionalisme bangsa Papua.
Cahyo Pamungkas menambahkan, pemerintah seharusnya dapat bersikap seperti era Abdurrahman Wahid yang menganggap simbol Bintang Kejora sebagai ekspresi budaya dan identitas bangsa Papua. Jika stigma makar terus berlanjut, tingkat kepercayaan masyarakat Papua terhadap konsep Indonesia akan semakin tergerus.