Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang melarang wakil menteri untuk menduduki jabatan ganda sebagai komisaris atau direksi di perusahaan milik negara (BUMN) maupun swasta. Keputusan ini tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diajukan terkait uji materi Pasal 23 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Artinya, larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri juga berlaku bagi wakil menteri.
Larangan ini meliputi rangkap jabatan sebagai:
- Pejabat negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan
- Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta
- Pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD
Hakim anggota Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri sebagai komisaris BUMN sejalan dengan Pasal 33 huruf b UU BUMN. Meskipun pasal tersebut telah diubah, substansinya tetap dipertahankan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025, yaitu larangan bagi anggota komisaris untuk memangku jabatan rangkap lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
MK menekankan pentingnya larangan ini agar wakil menteri dapat fokus pada urusan kementerian, mengingat jabatan komisaris juga membutuhkan konsentrasi waktu.
Untuk memberikan waktu penyesuaian, MK memberikan tenggang waktu (grace period) selama 2 tahun kepada pemerintah untuk menyesuaikan ketentuan larangan jabatan wakil menteri ini.
Putusan ini diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yaitu Daniel Yusmic P. Foekh dan Arsul Sani. Daniel Yusmic berpendapat bahwa putusan sebelumnya terkait hal ini seharusnya tetap dipertahankan. Sementara Arsul Sani menyatakan bahwa MK seharusnya menerapkan proses deliberatif dan partisipatif dengan mendengarkan keterangan dari pembentuk undang-undang dan pihak terdampak.
Perkara ini diproses dengan cepat oleh MK, hanya melalui dua kali sidang tanpa sidang pleno untuk mendengarkan keterangan dari pemerintah atau DPR.