Polemik Tanda Kehormatan: Dari Kenaikan Pangkat Hingga Taman Makam Pahlawan, Layakkah Para Penerima?

Pemberian tanda kehormatan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada 141 tokoh nasional menuai sorotan. Peningkatan jumlah penerima dari tahun sebelumnya memicu pertanyaan tentang kriteria dan kelayakan.

Menteri Sekretaris Negara berpendapat bahwa pemberian tanda kehormatan menjadi tradisi untuk menghargai putra-putri bangsa yang berprestasi. Namun, ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, mempertanyakan kelayakan sejumlah nama, terutama politisi, mengingat potensi benturan kepentingan.

Siapa Saja Politisi Penerima Tanda Kehormatan?

Sejumlah tokoh politik seperti Puan Maharani, Ahmad Muzani, Sultan Bachtiar Najamudin, Sufmi Dasco Ahmad, dan Zulkifli Hasan menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama. Undang-Undang mengatur syarat khusus bagi penerima, yaitu berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara. Protokol Istana menyebut kelimanya berjasa di bidang politik, kepemimpinan, dan dukungan kebijakan nasional.

Selain itu, sejumlah pejabat dan politisi di Kabinet Merah Putih juga menerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera, termasuk Abdul Muhaimin Iskandar, Bahlil Lahadalia, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Bivitri berpendapat bahwa penghargaan seharusnya diberikan bagi mereka yang membuat terobosan luar biasa, bukan hanya menjalankan tugas jabatan.

Kritik dan Kontroversi

Yudi Latif, mantan Kepala BPIP, menyoroti bahwa tanda kehormatan yang dulunya sakral kini kehilangan kemilau, seolah menjadi sekadar "souvenir" politik. Pemberian tanda kehormatan kepada politisi dan pejabat bukan hal baru. Tradisi ini sudah ada sejak era Orde Baru.

Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden. Saat ini, ketua dewan adalah Fadli Zon, yang juga menerima tanda kehormatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas pemberian penghargaan.

Hak Istimewa Penerima Tanda Kehormatan

Penerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama dan Bintang Mahaputera yang masih hidup berhak atas kenaikan pangkat istimewa dan protokol khusus dalam acara resmi. Sementara itu, yang meninggal dunia berhak atas pemakaman dengan upacara kebesaran militer dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Sejarawan Andi Achdian menilai pemberian tanda jasa dan kehormatan saat ini sebagai "narsistik elite yang berkuasa," yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Ia menyandingkan kondisi ini dengan masa sebelum Revolusi Prancis, di mana gelar kebangsawanan dan jabatan tinggi bisa dibeli.

Penting untuk memastikan kriteria penerima tanda kehormatan dipublikasikan secara transparan agar masyarakat dapat memberikan kritik yang konstruktif.

Scroll to Top