Rapat Komisi XIII DPR RI bersama Baleg, LMKN, VISI, dan AKSI membahas revisi UU Hak Cipta diwarnai pernyataan kontroversial dari musisi Ahmad Dhani. Dhani, yang hadir sebagai Dewan Penasihat AKSI dan anggota Komisi X DPR RI, menyoroti jurang ketimpangan antara penyanyi dan pencipta lagu dalam sistem royalti.
Dhani menunjuk contoh konkret, menyebut nama Ariel NOAH dan bahkan mantan Presiden Joko Widodo. Ia mengklaim bahwa banyak komposer, berbeda dengan penyanyi sukses, kesulitan mencari nafkah. Dhani menyuarakan nasib Ari Bias dan komposer lainnya yang merasa hak mereka terabaikan selama lebih dari satu dekade.
"Pemerintah maupun pihak terkait belum menunjukkan itikad baik, bahkan sekadar meminta maaf atas kelalaian ini," tegas Dhani.
Dhani mendorong pembentukan lembaga khusus yang fokus menangani perizinan konser, terpisah dari LMK yang selama ini mengelola pungutan royalti. Ia khawatir, jika interpretasi hukum terkait royalti masih sama seperti era pemerintahan Jokowi dan Menkumham Yasonna Laoly, komposer akan terus menjadi pihak yang dirugikan.
"Jika interpretasi hukumnya sama, celah hukum akan terus mengeksploitasi komposer. Penyanyi seperti Ariel, Bunga Citra Lestari, dan Judika akan semakin makmur, sementara komposer tetap terpuruk," ujarnya.
Piyu, Ketua AKSI sekaligus gitaris Padi, menambahkan pentingnya izin sebelum pertunjukan musik digelar. Menurutnya, izin adalah aspek mendasar yang berkaitan erat dengan hak moral pencipta lagu.
"Sebelum pertunjukan komersial dimulai, seharusnya ada izin atau lisensi. Hak moral harus dipenuhi, dan pemanfaatan komersial pertunjukan akan menghasilkan royalti," jelas Piyu. "Kami ingin menekankan bahwa izin adalah hal pokok yang perlu dibahas."