Paris mengecam keras kebijakan Amerika Serikat (AS) yang akan menolak permohonan visa para pejabat tinggi Otoritas Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, untuk menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York bulan depan.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menyatakan bahwa seharusnya tidak ada restriksi akses untuk menghadiri Sidang Umum PBB yang akan diselenggarakan di markas besar PBB, Manhattan, New York, pada bulan September.
"Pertemuan Sidang Umum PBB seharusnya tidak dikenakan pembatasan akses apapun," tegas Barrot saat berbicara dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri Uni Eropa di Denmark. Beberapa Menlu negara-negara Eropa lainnya pun turut menyuarakan dukungan senada dengan Prancis, mendesak AS untuk mengizinkan delegasi Palestina masuk ke wilayah mereka.
Kebijakan AS ini muncul di tengah rencana Prancis, bersama sekutu-sekutu AS seperti Inggris, Kanada, dan Australia, untuk memberikan pengakuan resmi terhadap negara Palestina di hadapan Majelis Umum PBB.
Pemerintahan AS menyatakan akan menolak dan mencabut visa para pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat, karena dianggap "merusak prospek perdamaian".
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak oleh kebijakan tersebut. Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil karena PLO dan Otoritas Palestina dinilai gagal menolak ekstremisme, dan justru mendorong "pengakuan sepihak" atas negara Palestina.
"Ini demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan karena merusak prospek perdamaian," demikian pernyataan resmi Departemen Luar Negeri AS.
Kantor Perdana Menteri Palestina menyatakan keterkejutannya atas keputusan AS, yang dinilai bertentangan dengan "hukum internasional" dan melanggar "perjanjian markas besar" PBB.
Berdasarkan "perjanjian markas besar" PBB tahun 1947, AS secara umum berkewajiban mengizinkan akses bagi para diplomat asing ke markas PBB di New York. Namun, Washington berdalih dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.
Otoritas Palestina menyerukan AS untuk membatalkan keputusan tersebut. Abbas sendiri telah merencanakan perjalanan ke New York untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, dan dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak yang diselenggarakan oleh Prancis dan Arab Saudi, di mana Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.