Aksi demonstrasi yang marak terjadi di berbagai daerah merupakan puncak kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut pengamat politik, unjuk rasa ini adalah manifestasi kemarahan yang terpendam akibat berbagai kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat.
Kesenjangan antara kondisi ekonomi masyarakat dan kebijakan pemerintah menjadi pemicu utama. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, tunjangan anggota DPR justru mengalami peningkatan. Kondisi ini diperparah dengan praktik rangkap jabatan dan kenaikan pajak yang semakin membebani rakyat.
Anggota DPR juga diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dengan publik. Alih-alih meredakan amarah rakyat, pernyataan-pernyataan kontroversial justru memperkeruh suasana. Sikap yang tidak empati, seperti bersenang-senang di saat rakyat susah atau melontarkan kata-kata kasar saat diprotes, dinilai tidak pantas bagi seorang wakil rakyat.
Salah satu pemicu kemarahan adalah keluhan sejumlah anggota DPR terkait tunjangan yang dianggap kurang mencukupi. Pernyataan tentang tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta yang masih kurang, atau alasan kemacetan dari Bintaro ke Senayan sebagai pembenaran tunjangan, semakin menyulut emosi masyarakat.
Sebagai pejabat publik, anggota DPR seharusnya menjaga ucapan dan perilaku. Tindakan dan perkataan yang menyakiti hati rakyat atau terkesan menantang hanya akan memperburuk situasi.
Gelombang demonstrasi terkait gaji dan tunjangan DPR telah berlangsung selama beberapa hari terakhir. Aksi massa sempat digelar di berbagai lokasi strategis, termasuk di depan Polda Metro Jaya, gedung DPR, dan Markas Brimob.