Kelompok Houthi di Yaman mengumumkan serangan rudal terhadap sebuah kapal tanker di Laut Merah. Eskalasi ini terjadi setelah Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan Houthi di Yaman dilaporkan tewas.
Houthi mengklaim bahwa serangan mereka menargetkan kapal tanker Scarlet Ray berbendera Liberia. Sebelumnya, mereka juga telah menenggelamkan dua kapal tanker lainnya pada bulan Juli.
Meskipun Houthi mengklaim serangan itu mengenai sasaran, Operasi Perdagangan Maritim Inggris (UKMTO) menyatakan bahwa rudal tersebut meleset. Sementara itu, perusahaan keamanan maritim Ambrey mengungkapkan bahwa kapal tanker itu dimiliki oleh Israel.
UKMTO melaporkan bahwa awak kapal melihat percikan api dan mendengar ledakan keras di dekat kapal mereka. Untungnya, seluruh awak selamat dan kapal melanjutkan perjalanannya.
Serangan ini terjadi setelah Houthi mengonfirmasi kematian Perdana Menteri mereka, Ahmed Ghaleb Nasser Al-Rahawi, yang tewas dalam serangan Israel di Sanaa. Militer Israel mengklaim serangan itu menewaskan Rahawi, pejabat paling senior yang tewas dalam konflik Yaman selama perang di Jalur Gaza.
Setelah kematian Rahawi, Houthi dilaporkan menangkap puluhan orang di Sanaa dan sekitarnya yang dicurigai bekerja sama dengan Israel.
Selain itu, Houthi juga menyerbu markas PBB dan menahan sedikitnya 11 pekerja PBB. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat para pekerja tersebut. Utusan PBB untuk Yaman, Hans Grundberg, menyatakan bahwa Houthi telah menahan 23 personel PBB, beberapa di antaranya sejak 2021 dan 2023.
Houthi mengklaim bahwa penangkapan pada Juni 2024 melibatkan "jaringan mata-mata Amerika-Israel" yang beroperasi di bawah organisasi kemanusiaan, tuduhan yang dibantah keras oleh PBB.