Kunjungan Prabowo ke China: Eratnya Hubungan Ekonomi dan Politik Indonesia-Tiongkok

Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan lawatan penting ke Tiongkok, menegaskan betapa strategisnya peran Beijing bagi Indonesia dalam berbagai aspek.

Prabowo bertolak dari Jakarta pada Selasa malam (2/9/2025) menuju Beijing, memenuhi undangan khusus dari Presiden Xi Jinping. Agenda utama kunjungan ini adalah pertemuan bilateral yang krusial bagi kelanjutan kerjasama kedua negara.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengungkapkan bahwa undangan dari pemerintah Tiongkok ini sebenarnya telah diajukan sejak 31 Agustus. Namun, dinamika internal di Indonesia membuat Prabowo menunda keberangkatan untuk fokus pada penanganan demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi.

Kunjungan ini terjadi hanya berselang sembilan bulan sejak kunjungan perdana Prabowo sebagai presiden pada November 2024. Tiongkok menjadi negara pertama yang ia kunjungi setelah pelantikannya pada Oktober 2024, menandakan prioritas hubungan bilateral ini.

Perdagangan Indonesia Semakin Bergantung pada Tiongkok

Dalam dua dekade terakhir, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok tumbuh semakin kuat, terutama dalam bidang perdagangan dan investasi.

Nilai perdagangan kedua negara melonjak pesat dari US$ 7,464 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 147,99 miliar pada tahun 2024, mencerminkan pertumbuhan sebesar 1.882,65%.

Sebelum era 2010-an, Jepang adalah mitra dagang utama bagi Indonesia. Pergeseran signifikan terjadi setelah implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2004, yang menghapuskan tarif untuk sebagian besar ekspor Indonesia ke Tiongkok.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2004, nilai perdagangan Indonesia-Jepang mencapai US$ 18,62 miliar, sementara dengan Tiongkok baru mencapai US$ 12,24 miliar. Namun, setelah 10 tahun berlakunya ACFTA (2014), nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok melonjak menjadi US$ 48,23 miliar.

Tiongkok telah menjadi pasar ekspor non-migas terbesar bagi Indonesia sejak tahun 2011. Pada tahun 2021, nilai perdagangan kedua negara bahkan melampaui US$ 100 miliar untuk pertama kalinya.

Pada Januari-Juli 2025, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$ 35,9 miliar (22,4% dari total ekspor), sementara impor dari Tiongkok mencapai US$ 47,97 miliar (35% dari total impor). Jika hanya dilihat dari impor non-migas, kontribusi impor Tiongkok bahkan mencapai 40,4%.

Investasi Tiongkok Semakin Dominan

Investasi Tiongkok di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam satu dekade terakhir.

Pada tahun 2013, total investasi Tiongkok hanya mencapai US$ 297 juta, menempatkan mereka pada posisi ke-12 investor terbesar di Indonesia. Namun, pada tahun 2015, Tiongkok naik ke peringkat ke-9 dengan investasi US$ 628 juta, dan mencapai posisi ketiga pada tahun 2017.

Pada tahun 2024, investasi Tiongkok telah mencapai US$ 8,2 miliar dengan jumlah proyek mencapai 9.916, hanya kalah dari Singapura. Tiongkok kini menempati posisi kedua dari segi jumlah investasi.

Data terbaru menunjukkan bahwa investasi Tiongkok pada Januari-Juni 2025 mencapai US$ 1,8 miliar, hanya kalah dari Singapura dan Hong Kong.

Investasi besar-besaran Tiongkok di Indonesia dimulai sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama melalui inisiatif "Belt and Road Initiative" yang dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013.

Kunjungan Xi Jinping ke Indonesia pada Oktober 2013 menghasilkan komitmen kerjasama investasi senilai US$ 28,2 miliar di berbagai sektor, termasuk properti, pertambangan, infrastruktur, hingga industri semen.

Investasi Tiongkok semakin melonjak pesat di era Joko Widodo, tidak hanya menyasar smelter, industri, dan infrastruktur, tetapi juga industri makanan.

Perusahaan-perusahaan besar Tiongkok seperti Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou) dan Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL) telah berinvestasi besar-besaran di Indonesia. Selain itu, Yili Group juga telah menanamkan investasi sebesar Rp 2,5 triliun untuk membangun pabrik es krim terbesar di Indonesia.

Di sektor infrastruktur, Tiongkok dan Indonesia juga bekerja sama membangun proyek-proyek strategis seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Waduk Jatigede di Sumedang, dan Tol Medan-Kualanamu.

Indonesia Semakin Mengandalkan Pinjaman dari Tiongkok

Data Bank Indonesia menunjukkan perubahan signifikan dalam komposisi pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia.

Pada tahun 2010, Jepang adalah pemberi pinjaman terbesar dengan nilai US$ 40,47 miliar, namun angkanya terus menurun. Jepang kini hanya menempati urutan keempat dalam daftar pemberi utang terbesar.

Selain Jepang, Belanda juga terus menurunkan jumlah pinjaman. Jika pada tahun 2010 pinjaman dari Belanda mencapai US$ 15,37 miliar, maka angkanya kini hanya US$ 4,19 miliar per Juni 2025.

Singapura menempati urutan teratas sejak tahun 2012 dan nilainya terus melonjak hingga menembus US$ 56,8 miliar per Juni 2025. Tiongkok juga terus mensuplai utang ke Indonesia dengan agresivitas yang luar biasa. Jika pada tahun 2010 pinjaman dari Tiongkok baru mencapai US$ 2,49 miliar, maka per Juni 2025 angkanya melesat menjadi US$ 21,05 miliar.

Posisi Tiongkok melesat dari posisi 8 kini menempati posisi 3 sebagai pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia.

Scroll to Top