Kekosongan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta baru-baru ini memicu perhatian. Seorang praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas) berpendapat bahwa penyebabnya bukanlah lonjakan permintaan konsumen, melainkan perubahan regulasi impor BBM yang mendadak.
Menurutnya, permintaan BBM saat ini masih stabil, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang moderat. Masalah utama terletak pada perubahan aturan perizinan impor BBM yang sebelumnya berlaku 12 bulan, kini dipersingkat menjadi 6 bulan.
Perubahan ini menciptakan tantangan baru bagi SPBU swasta, terutama dalam menyesuaikan sistem logistik dan infrastruktur pendukung. Penataan ulang yang diperlukan membutuhkan waktu, sehingga memicu kelangkaan dan ketidakpastian di pasar.
Praktisi tersebut menyarankan agar regulasi yang sudah berjalan dengan baik tidak perlu diubah, karena justru dapat menimbulkan masalah dalam kondisi ekonomi yang belum stabil.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa pemerintah sedang berupaya memperbaiki tata kelola perizinan impor BBM, menyusul kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan tidak lagi memberikan izin impor untuk jangka waktu satu tahun, melainkan per enam bulan dengan evaluasi setiap tiga bulan.
Selain itu, Kementerian ESDM juga telah menghentikan ekspor minyak mentah dari produksi dalam negeri. Langkah ini bertujuan agar produksi minyak dalam negeri dapat diolah secara optimal melalui proses blending untuk memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh kilang-kilang di Indonesia.