Gelombang Penangkapan Aktivis Pasca-Demonstrasi Agustus: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat?

Gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu berbuntut panjang. Polda Metro Jaya menetapkan Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, sebagai tersangka atas dugaan penyebaran hasutan yang memicu kerusuhan dan melibatkan anak-anak.

Penetapan tersangka ini menuai kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil dan pengamat. Mereka menilai polisi gagal membedakan antara kebebasan berpendapat dan provokasi.

Kronologi Penangkapan yang Dipertanyakan

Menurut LBH Jakarta, penangkapan Delpedro dilakukan secara tergesa-gesa oleh sejumlah polisi berpakaian serba hitam di kantor Lokataru. Proses penangkapan ini dinilai cacat prosedur, mengabaikan prinsip HAM, dan melanggar hak konstitusional. Lokataru juga menyoroti penggeledahan kantor yang tidak sopan dan berpotensi menghilangkan bukti.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, berpendapat bahwa penangkapan tersebut tidak sah karena Delpedro belum ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.

Alasan Polisi: Provokasi yang Belum Diperinci

Polda Metro Jaya mengklaim bahwa penangkapan dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup terkait ajakan provokasi yang dilakukan Delpedro untuk memicu kerusuhan. Namun, detail provokasi tersebut belum diperinci dengan alasan masih dalam pendalaman.

Pendiri Lokataru, Haris Azhar, menilai penangkapan ini sebagai tindakan berlebihan dan "praktik pengambinghitaman" pegiat HAM. Ia membantah bahwa unggahan Lokataru di media sosial mengandung hasutan yang menyebabkan pelajar ikut dalam demonstrasi.

Aktivis Lain Juga Jadi Target

Selain Delpedro, polisi juga dilaporkan menangkap sejumlah aktivis lain, termasuk pengacara publik YLBHI di Manado dan Samarinda, serta aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein.

Kontras mencatat bahwa 20 orang hilang pasca-demonstrasi, sementara 31 orang yang sempat dilaporkan hilang telah ditemukan dalam kondisi ditahan kepolisian.

Ancaman Bagi Demokrasi?

Pengamat sosial UNJ, Ubedillah Badrun, menilai serangkaian penangkapan ini menunjukkan bahwa aparat keamanan tidak belajar dari pengalaman masa lalu dan mengancam kebebasan berpendapat.

Pengamat Politik CSIS, Dominique Nicky Fahrizal, menilai pemerintah seperti hendak menata ulang kekuasaannya lewat rangkaian penangkapan ini, yang didorong oleh pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang seolah melegitimasi tindakan sweeping. Ia juga menyoroti pengabaian prosedur hukum yang proporsional dalam penangkapan.

Scroll to Top