Tragedi melanda Indonesia di penghujung Agustus, dengan sepuluh nyawa melayang di tengah gelombang demonstrasi yang meluas. Dugaan keterlibatan aparat dalam kekerasan memicu kemarahan publik dan tuntutan akan pengusutan tuntas. Para aktivis HAM menyerukan reformasi kepolisian dan pemenuhan tuntutan masyarakat demi mencegah jatuhnya korban lebih banyak.
Situasi memprihatinkan ini merupakan akumulasi dari ruang dialog yang terbatas, di mana aspirasi masyarakat sulit tersampaikan. Presiden Prabowo Subianto justru menginstruksikan tindakan tegas terhadap demonstran yang dianggap anarkis, menghubungkannya dengan tuduhan makar dan terorisme, serta menjanjikan kenaikan pangkat bagi polisi yang terluka.
Data mencengangkan dari YLBHI menunjukkan lebih dari seribu orang dilarikan ke rumah sakit di berbagai kota akibat kekerasan aparat, termasuk luka fisik dan efek gas air mata. Jumlah ini belum termasuk korban penyiksaan saat penangkapan. Kisah pilu dari keluarga korban mengungkap rangkaian pemukulan dan pengeroyokan yang berujung pada patah tulang hingga kematian.
Kisah-Kisah Tragis yang Menyayat Hati
Di Makassar, Saerah, seorang ibu berusia 51 tahun, tak henti menggenggam foto putranya, Rusdam Diansyah (Dandi), seorang pengemudi ojek daring yang tewas dikeroyok massa karena dituduh sebagai intel. Dandi, tulang punggung keluarga, meregang nyawa setelah diajak rekannya menonton demonstrasi. Ayahnya, Rustam, masih terngiang kata-kata terakhir putranya sebelum pergi.
Selain Dandi, tiga orang lainnya menjadi korban meninggal di Makassar akibat kebakaran gedung DPRD saat aksi berlangsung.
Di Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama, seorang mahasiswa, menjadi korban bentrokan antara massa dan polisi. Luka-luka parah di tubuhnya, termasuk patah tulang dan bekas luka seretan, mengindikasikan kekerasan yang dialaminya. Orang tua Rheza mengungkapkan kebingungan dan kesedihan mendalam atas kejadian ini.
Semarang juga berduka atas meninggalnya Iko Juliant Junior, seorang mahasiswa yang dirawat di rumah sakit setelah mengikuti aksi. Kematian Iko dipenuhi kejanggalan, dengan informasi simpang siur mengenai penyebab lukanya dan perbedaan keterangan polisi dan teman-temannya mengenai lokasi kejadian.
Jakarta kehilangan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang tewas terlindas kendaraan rantis polisi. Di Tangerang, Andika Lutfi Falah, seorang pelajar, meninggal setelah mengalami koma akibat cedera kepala berat. Sumari di Surakarta dan Septinus Sesa di Manokwari juga menjadi korban jiwa akibat efek gas air mata.
Desakan Pengusutan Tuntas dan Keadilan
Sejumlah keluarga korban menuntut pengusutan tuntas atas kasus ini, sementara yang lain memilih berdamai. Amnesty International Indonesia mendesak pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen dan penyelidikan pro-yustisia oleh Komnas HAM.
Komnas HAM tengah mengumpulkan data dan melakukan penyelidikan, dengan fokus awal pada kasus Affan Kurniawan. Mereka juga menemukan ratusan korban luka di berbagai kota.
Komisi Nasional Disabilitas mengingatkan bahwa kekerasan ini dapat menimbulkan disabilitas baru, baik fisik maupun mental. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyoroti anggaran pengendalian massa yang mencapai triliunan rupiah, yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menakuti dan membungkam suara rakyat.
Dunia internasional turut bersuara, dengan Badan PBB Urusan HAM menyerukan penyelidikan yang cepat, mendalam, dan transparan atas dugaan pelanggaran HAM oleh aparat. Mereka menekankan pentingnya kebebasan pers dan meminta otoritas menjunjung tinggi hak untuk berkumpul dan berekspresi.
Tragedi ini menjadi catatan kelam bagi demokrasi Indonesia, menuntut evaluasi mendalam dan komitmen untuk melindungi hak asasi manusia serta menjamin keadilan bagi seluruh warga negara.