Jakarta – Praktik produsen beras yang semakin gencar menjual beras khusus fortifikasi di jaringan ritel modern menuai sorotan tajam. Seorang pakar hukum dari Universitas Trisakti menilai tindakan ini sebagai bentuk kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat luas.
Menurutnya, permasalahan ini bukan sekadar dinamika pasar, melainkan sudah menjurus ke ranah pidana. Indikasinya adalah adanya penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Produsen dinilai memanfaatkan subsidi negara yang sangat besar, mencapai Rp 155,5 triliun pada 2025, termasuk subsidi pupuk hingga 9,5 juta ton. Seharusnya, subsidi ini menjamin ketersediaan beras murah bagi masyarakat. Namun, kenyataannya, beras tersebut justru dialihkan ke pasar beras khusus dengan harga yang jauh lebih tinggi, berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 35.000 per kilogram. Hal ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap tujuan awal pemberian subsidi.
Praktik ini berpotensi melanggar berbagai undang-undang pidana, seperti UU Pangan terkait larangan manipulasi distribusi, UU Perlindungan Konsumen terkait perbuatan curang, UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait penguasaan pasar secara tidak wajar, serta UU Tipikor jika terbukti menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Fenomena ini dianggap bukan lagi sekadar isu ekonomi biasa, melainkan sudah masuk kategori kejahatan ekonomi. Aktivitas "mafia beras" ini dinilai menyandera hajat hidup orang banyak, merugikan negara, dan mengancam ketahanan pangan. Aparat penegak hukum didesak untuk turun tangan, tidak cukup hanya dengan pengawasan administratif, tetapi juga dengan penindakan pidana yang terukur dan tegas agar praktik serupa tidak terulang.
Keberadaan mafia pangan dianggap bertentangan dengan amanat undang-undang dan semangat penyelenggara negara yang menempatkan pangan sebagai hak dasar rakyat.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional didesak untuk memperkuat pengawasan distribusi beras medium dan premium. Selain itu, transparansi jalur subsidi juga perlu ditingkatkan agar beras subsidi benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan.
Tindakan produsen beras yang hanya mengejar keuntungan maksimal ini dinilai sebagai praktik kapitalis yang layak disebut sebagai mafia pangan. Mereka memanfaatkan subsidi pemerintah untuk petani dan swasembada pangan, tetapi justru membatasi akses rakyat terhadap beras berkualitas dengan harga wajar, yang merupakan bentuk eksploitasi sistematis.
Beras fortifikasi, yang diperkaya dengan zat gizi mikro seperti zat besi, asam folat, dan vitamin lainnya untuk mencegah stunting dan kekurangan gizi, saat ini mendominasi pasar ritel. Perbedaan utama antara beras fortifikasi dengan beras medium dan premium terletak pada aspek nutrisi dan mutu fisik.
Beras medium memiliki klasifikasi butir patah hingga 25%, butir menir maksimal 2%, dan kadar air maksimal 14%, dengan harga berkisar antara Rp 12.500-14.500 per kilogram. Sementara beras premium memiliki klasifikasi butir patah maksimal 15%, butir menir maksimal 0,5%, dan kadar air maksimal 14%, dengan harga Rp 15.000-18.000 per kilogram, lebih murah daripada beras fortifikasi karena tidak ada penambahan nutrisi khusus.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional didesak untuk segera menginvestigasi praktik ini dan memastikan distribusi beras medium serta premium di ritel modern. Transparansi pasokan dan pengawasan harga beras khusus fortifikasi harus diperketat agar subsidi pemerintah benar-benar bermanfaat bagi rakyat.