Skema Burden Sharing BI untuk Asta Cita Prabowo: Tepatkah?

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat menerapkan skema burden sharing atau berbagi beban bunga Surat Berharga Negara (SBN) guna mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan BI telah membeli SBN di pasar sekunder senilai Rp200 triliun. Sebagian dana dari pembelian ini akan dialokasikan Kementerian Keuangan untuk membiayai program Asta Cita, seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih. Skema burden sharing ini bertujuan mengurangi beban pembiayaan program-program ekonomi kerakyatan tersebut.

Burden sharing pertama kali diterapkan saat pandemi Covid-19, di mana BI berbagi beban dengan pemerintah dalam membiayai penanganan pandemi melalui pembelian SBN di pasar primer. Kebijakan ini terwujud melalui serangkaian Surat Keputusan Bersama (SKB). Normalnya, BI hanya diperbolehkan membeli SBN di pasar sekunder. Namun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) mengizinkan BI membeli SBN langsung dari negara saat kondisi krisis.

Pembelian SBN senilai Rp200 triliun memang dilakukan di pasar sekunder, namun pernyataan Perry tentang burden sharing menimbulkan pertanyaan: apakah skema burden sharing era Covid-19 mengalami perubahan makna? Dan, tepatkah burden sharing digunakan untuk membiayai program Asta Cita Prabowo?

Ekonom Indef, Rizal Taufiqurrahman, menjelaskan bahwa burden sharing awalnya lahir sebagai respon darurat pasca pandemi (2020-2022). Saat itu, BI menanggung sebagian beban bunga SBN yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Skema ini bersifat sementara dan luar biasa, karena lazimnya bank sentral tidak diperkenankan membiayai defisit APBN secara langsung.

Menurutnya, pembelian SBN di pasar sekunder oleh BI berbeda dengan burden sharing saat pandemi. Burden sharing merupakan dukungan fiskal langsung ke pemerintah dengan skema berbagi biaya, sedangkan pembelian SBN di pasar sekunder lebih ditujukan untuk stabilisasi pasar dan kebijakan moneter.

"Jadi, ketika BI membeli SBN dari investor di pasar sekunder (misalnya untuk menurunkan yield atau stabilisasi volatilitas), itu masuk ranah monetary operations, bukan beban bersama dengan pemerintah," jelasnya.

Penggunaan skema burden sharing saat ini patut dipertanyakan, mengingat landasan hukumnya dirancang untuk situasi luar biasa seperti pandemi Covid-19. Kondisi saat ini tidak lagi mencerminkan keadaan darurat sebagaimana tertuang dalam regulasi.

"Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih positif, inflasi relatif terjaga, dan pasar keuangan berfungsi meski penuh tekanan, melanjutkan burden sharing untuk membiayai program jangka panjang Asta Cita lebih terlihat sebagai perluasan mandat yang keluar dari norma, sehingga berpotensi menggerus disiplin fiskal serta kredibilitas kebijakan yang selama ini dijaga," pungkasnya.

Scroll to Top