Burden Sharing: Strategi BI dan Pemerintah Dibalik Pendanaan Program Prioritas Prabowo

Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat untuk berbagi beban (burden sharing) dalam mendanai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Bentuk dukungan ini diwujudkan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, dengan nilai yang sudah mencapai Rp 200 triliun.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa dana dari pembelian SBN ini sebagian dialokasikan pemerintah untuk membiayai program Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.

Apa Itu Burden Sharing?

Burden sharing adalah skema yang pernah diterapkan pemerintah pada masa pandemi COVID-19 untuk membiayai pemulihan ekonomi. Kemenkeu menerbitkan SBN kepada BI dengan acuan suku bunga reverse repo. Pemerintah membayar bunga sesuai jatuh tempo, namun BI mengembalikan bunga tersebut sebagai kontribusi sesuai skema. Secara sederhana, ini adalah cara "mencetak uang" yang kemudian digunakan oleh Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal.

Saat pandemi, terdapat tiga mekanisme burden sharing:

  1. Seluruh Beban Ditanggung BI: BI membeli SBN melalui skema private placement. Dana ini digunakan untuk pembiayaan sektor publik seperti kesehatan, jaring pengaman sosial, dan belanja sektoral. Bunganya sesuai suku bunga reverse repo BI, namun dikembalikan sepenuhnya ke pemerintah.
  2. BI Sebagai Pembeli Siaga: Pemerintah menjual SBN ke pasar, dan BI berperan sebagai pembeli siaga. BI menanggung selisih bunga dengan kontribusi setara selisih antara suku bunga reverse repo tiga bulan BI dikurangi 1%. Dana dipakai untuk pembiayaan nonbarang publik seperti UMKM dan koperasi non-UMKM.
  3. Beban Ditanggung Pemerintah: Mekanismenya mirip dengan yang kedua, tetapi seluruh beban ditanggung pemerintah pada tingkat bunga pasar penuh. Dana dipakai untuk membiayai belanja nonbarang publik lainnya.

Burden Sharing: Monetisasi Utang?

Dalam literatur ekonomi moneter, burden sharing merupakan bentuk sederhana dari monetisasi utang atau seigniorage. Bank sentral membeli obligasi pemerintah secara langsung, memberikan dana baru bagi pemerintah sekaligus memperbesar neraca bank sentral. Transaksi ini bersifat sementara, karena utang tersebut dapat dihapuskan dari sisi aset bank sentral.

Monetisasi utang sering digunakan negara yang menghadapi defisit fiskal, ketika kebijakan moneter konvensional tidak mencukupi. Terdapat tiga variasi:

  1. Langsung: Bank sentral membeli obligasi baru langsung dari pemerintah.
  2. Tidak Langsung: Obligasi dibeli di pasar sekunder melalui operasi pasar terbuka.
  3. Langsung dengan Penghapusan Utang: Pembelian langsung dengan penghapusan utang dari neraca bank sentral.

Monetisasi utang mirip dengan quantitative easing (QE), tetapi QE hanya memperbolehkan bank sentral membeli obligasi lama, sementara monetisasi utang memungkinkan pembelian obligasi baru sebagai sumber pembiayaan langsung.

Independensi Bank Sentral

Penggunaan monetisasi utang untuk menutup defisit fiskal sering dianggap tabu karena dikhawatirkan mengurangi independensi bank sentral. Jika bank sentral terlalu sering membiayai defisit, kebijakan moneter bisa didominasi fiskal, belanja pemerintah tidak terkendali, dan inflasi melonjak.

Namun, kebijakan fiskal memang berpengaruh besar pada kondisi makroekonomi tempat bank sentral beroperasi. Keterlibatan bank sentral dalam pasar obligasi pemerintah dapat diterima selama tidak terlalu membebani neraca atau mengganggu independensinya.

Kerja sama yang jelas antara pemerintah dan bank sentral diharapkan tidak memicu inflasi maupun masalah belanja publik, asalkan diatur dengan baik.

Scroll to Top