Bank Indonesia (BI) kembali menerapkan skema burden sharing dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp 200 triliun. Langkah ini diambil untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. BI mengklaim kebijakan ini bertujuan meringankan beban biaya program ekonomi kerakyatan Asta Cita dan menjaga stabilitas ekonomi melalui sinergi kebijakan fiskal dan moneter.
Namun, kebijakan ini menuai kritik. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai burden sharing ini mengancam independensi BI. Bhima berpendapat, BI kini serupa dengan Dewan Moneter era Orde Baru, di mana kebijakan moneter harus selaras dengan kehendak pemerintah. Independensi BI, yang baru diraih pada tahun 1999, terancam sirna.
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan risiko inflasi akibat peningkatan jumlah uang yang beredar. Jika lonjakan uang beredar tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan riil di pasar, inflasi tak terhindarkan.
Reputasi fiskal Indonesia juga berada di ujung tanduk. Jika skema burden sharing terus digunakan untuk membiayai program-program bermasalah, kredibilitas pemerintah berpotensi merosot. Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) bahkan terancam diturunkan, terutama jika BI membiayai program yang dianggap problematik.
Bhima juga mempertanyakan penerapan burden sharing di luar masa krisis. Padahal, sebelumnya, skema ini diterapkan saat pandemi COVID-19. Pertanyaannya, apakah pemerintah dan BI menganggap kondisi saat ini sebagai krisis?