Misteri HIV pada Wanita Lanjut Usia di Korea Selatan: Kasus yang Membingungkan Medis

Kasus seorang wanita berusia 85 tahun, sebut saja ‘A’, di Korea Selatan mengejutkan dunia medis. Didiagnosis positif HIV, ‘A’ mengaku sudah tidak aktif secara seksual selama lebih dari dua dekade setelah kepergian suaminya. Ia juga menegaskan tidak pernah menerima transfusi darah atau terlibat dalam aktivitas berisiko lainnya yang dapat menularkan virus mematikan itu.

Kejadian ini memicu kebingungan di kalangan ahli kesehatan. Diagnosis HIV pada usia senja, di atas 80 tahun, tergolong sangat langka secara global. Laporan medis dari sebuah rumah sakit di Korea Selatan mengungkapkan bahwa ‘A’ diketahui mengidap HIV setelah menjalani tes darah sebagai persiapan untuk kemoterapi limfoma.

Lantas, bagaimana ‘A’ bisa terinfeksi? Jalur penularan virus pada ‘A’ masih menjadi teka-teki. Setelah suaminya meninggal karena penyakit jantung lebih dari 20 tahun lalu, ‘A’ hidup seorang diri di pedesaan. Pihak keluarga meyakini kemungkinan ‘A’ terinfeksi sangat kecil, mengingat ia telah menjalani berbagai prosedur dan tes saat suaminya dirawat di rumah sakit.

Selain itu, riwayat medis ‘A’ tidak mencakup operasi, rawat inap terkait HIV, transfusi darah, penggunaan narkoba suntik, akupunktur, maupun tato, hingga saat tes kemoterapi limfoma. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa ‘A’ tidak terpapar faktor risiko infeksi HIV. Kedua putranya yang tinggal terpisah juga dinyatakan negatif HIV.

Para ahli medis memperkirakan infeksi HIV pada ‘A’ kemungkinan terjadi beberapa tahun lalu. Indikasi ini didasarkan pada tingginya jumlah sel imun (CD4) dan viral load yang signifikan dalam darah ‘A’.

Kemungkinan lain yang dipertimbangkan adalah pengalaman prosedur medis, transfusi darah, atau hubungan seksual yang tidak dapat dikonfirmasi melalui wawancara dengan ‘A’ dan keluarganya. Namun, yang terpenting, kasus ini menyoroti kurangnya kesadaran tentang diagnosis HIV pada lansia.

Staf medis menekankan bahwa prasangka yang mengabaikan aktivitas seksual lansia atau tidak menganggap HIV sebagai penyakit yang memengaruhi lansia dapat menunda diagnosis secara signifikan. Isolasi sosial dan kurangnya pemahaman tentang informasi kesehatan juga dapat memperparah keterlambatan tersebut.

Kabar baiknya, pengobatan HIV terbukti efektif pada lansia. ‘A’ merespons terapi antiretroviral dengan baik, dan sistem kekebalannya berangsur-angsur pulih. Kasus ‘A’ menjadi pengingat bahwa HIV dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia. Penting bagi para profesional medis untuk tetap waspada dan mempertimbangkan kemungkinan HIV pada pasien lansia, serta memberikan perawatan yang tepat dan efektif.

Scroll to Top