Kebijakan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan untuk mendanai program prioritas pemerintah, seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih, menuai sorotan tajam. Dukungan ini diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder yang mencapai Rp 200 triliun.
Sejumlah ekonom mengkritisi langkah ini karena dinilai tidak tepat dilakukan di luar kondisi krisis. Mereka khawatir, independensi BI akan tergerus dan menyerupai Dewan Moneter di era Orde Baru, dimana keputusan moneter harus sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Kenaikan jumlah uang beredar tanpa diimbangi peningkatan permintaan riil juga dikhawatirkan memicu inflasi. Beban fiskal yang dilimpahkan ke sektor moneter berpotensi mengganggu stabilitas keuangan dan neraca BI dalam jangka panjang.
Reputasi fiskal Indonesia juga terancam. Jika skema ini terus digunakan untuk membiayai program yang bermasalah, kredibilitas pemerintah bisa tertekan dan berpotensi menurunkan peringkat utang pemerintah (sovereign bond rating).
Ekonom lain menambahkan bahwa kebijakan burden sharing akan melemahkan independensi BI yang seharusnya menjaga kebijakan moneter. Dengan adanya burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal akan berkurang dan justru dibebankan kepada BI. Sektor moneter seharusnya tidak melonggarkan kebijakan fiskal.
Idealnya, fiskal harus berhemat melalui kebijakan seperti realisasi anggaran. Kondisi ini dapat dikecualikan saat terjadi krisis atau pemberian bantuan langsung kepada masyarakat. Namun, saat ini, sektor ekonomi masih bergerak sehingga stimulus seharusnya diberikan melalui kebijakan fiskal, bukan dengan meminta BI menanggung utang bersama.
Utang yang beban bunganya ditanggung oleh BI dan pemerintah digunakan untuk program yang berisiko tinggi. Pemerintah dinilai mengetahui risiko tinggi dari program KMP dan perumahan, sehingga meminta BI untuk menanggung risiko tersebut.
Membiayai program berisiko tinggi dengan utang akan membawa risiko fiskal besar di masa depan. Pembayaran bunga utang akan meningkat, mengurangi kapasitas fiskal pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi pro rakyat.
Diduga, BI akan memanfaatkan kas yang ada terlebih dahulu, dan jika tidak mencukupi, akan mencetak uang baru untuk membeli SBN. Hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas di masyarakat.
Sebagai catatan, skema burden-sharing pernah diterapkan untuk membiayai pemulihan ekonomi saat pandemi COVID-19. Saat itu, Kementerian Keuangan menerbitkan SBN kepada BI dengan acuan suku bunga reverse repo. Pemerintah membayar bunga, namun BI mengembalikan bunga tersebut sebagai kontribusi sesuai skema. Intinya, ini adalah cara mencetak uang untuk mendukung belanja fiskal pemerintah.