Anutin Charnvirakul Terpilih Sebagai Perdana Menteri Thailand, Akhiri Dominasi Dinasti Shinawatra

Jakarta – Thailand kini memiliki pemimpin baru. Politisi senior dan tokoh berpengaruh di bidang konstruksi, Anutin Charnvirakul, resmi menduduki kursi Perdana Menteri setelah melalui pemungutan suara di Parlemen pada Jumat (5/9). Kemenangan ini menandai berakhirnya era dominasi keluarga Shinawatra yang telah mewarnai lanskap politik Bangkok selama dua dekade terakhir.

Anutin, yang memimpin Partai Bhumjaithai, berhasil mengamankan lebih dari 247 suara dari total 492 anggota parlemen, melampaui syarat mayoritas yang dibutuhkan. Pengumuman hasil pemilihan ini disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasional, meski masih menunggu sertifikasi resmi sebelum pelantikan yang diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan setelah mendapat restu dari Raja Maha Vajiralongkorn.

Dari Kabinet Menuju Kursi Nomor Satu

Sebelum menduduki jabatan tertinggi, Anutin, 58 tahun, telah malang melintang di pemerintahan sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Namanya mencuat berkat upayanya melegalkan ganja pada tahun 2022, meskipun kebijakan tersebut kemudian diperketat dan hanya diperuntukkan bagi penggunaan medis. Perannya sebagai ketua penanganan pandemi Covid-19 juga menjadi sorotan, meski sempat menuai kritik terkait lambatnya pengadaan vaksin.

Pada tahun 2023, Anutin bergabung dengan koalisi pemerintahan Pheu Thai di bawah kepemimpinan Srettha Thavisin. Namun, pemerintahan tersebut diguncang oleh kasus pelanggaran etika yang berujung pada pelengseran Srettha dan digantikan oleh putrinya, Paetongtarn Shinawatra.

Kekuasaan Paetongtarn berakhir pada 29 Agustus lalu, setelah Mahkamah Konstitusi mencopotnya akibat pelanggaran etika terkait percakapan rahasia dengan penguasa Kamboja, Hun Sen, yang berisi kritikan terhadap militer Thailand di tengah konflik perbatasan kedua negara.

Anutin, yang saat itu masih menjadi bagian dari kabinet Paetongtarn, segera mengundurkan diri dan menarik Partai Bhumjaithai dari koalisi. Langkah ini menjadi momentum penting yang membuka jalan baginya menuju kursi Perdana Menteri.

Partai Pheu Thai Dalam Tekanan

Partai Pheu Thai, yang kini hanya menjalankan pemerintahan sementara, berupaya keras mempertahankan posisinya. Mereka sempat mengajukan permintaan pembubaran parlemen pada Selasa (2/9), namun ditolak oleh Dewan Penasihat Raja dengan alasan tidak sah secara hukum.

Sebagai upaya terakhir, Pheu Thai mencalonkan Chaikasem Nitisiri, mantan Jaksa Agung berusia 77 tahun, sebagai penantang Anutin dengan janji akan menggelar pemilu kilat jika terpilih. Namun, peluang Chaikasem dianggap kecil, terutama setelah tokoh sentral keluarga Shinawatra, Thaksin Shinawatra, meninggalkan Thailand menuju Dubai pada Kamis malam (4/9).

Sekretaris Jenderal Pheu Thai, Sorawong Thienthong, sehari sebelum pemungutan suara, mengungkapkan nada pasrah dengan menyatakan, "Menang atau kalah bukanlah masalah."

Thaksin Pergi, Sidang Menanti

Kepergian Thaksin terjadi menjelang sidang Mahkamah Agung pada Selasa (9/9) yang akan menentukan apakah masa rawat inapnya di rumah sakit pada tahun 2023 akan dihitung sebagai masa tahanan. Jika tidak, ia berisiko kembali dipenjara, meski sebelumnya telah dibebaskan bersyarat setelah menjalani hukuman yang dipotong Raja dari delapan tahun menjadi satu tahun.

Melalui media sosial, Thaksin menyatakan akan kembali pada Senin (8/9) untuk menghadiri sidang tersebut.

Koalisi Rawan Gejolak

Meskipun memenangkan kursi Perdana Menteri, posisi Anutin tidaklah sepenuhnya aman. Dukungan dari 143 suara milik Partai Rakyat (People’s Party), blok oposisi terbesar, diberikan dengan syarat parlemen harus dibubarkan dalam waktu empat bulan. Pemerintahan baru juga harus berkomitmen menggelar referendum untuk merancang konstitusi baru oleh majelis konstituante terpilih.

Partai Rakyat, yang sebelumnya bernama Move Forward, sempat memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu 2023. Namun, pencalonan Pita Limjaroenrat sebagai Perdana Menteri gagal karena ditolak oleh Senat yang saat itu masih memiliki hak suara dan mayoritas anggotanya pro-monarki. Kini, hak tersebut telah dihapus, membuka jalan bagi Anutin untuk meraih kepemimpinan.

Dukungan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintahan Anutin berpotensi menjadi minoritas sejak awal, sehingga stabilitas politik tetap rentan.

Pertarungan Dua Dekade

Keluarga Shinawatra telah menjadi pusat perhatian politik Thailand selama dua dekade terakhir. Mulai dari Thaksin, yang menjabat sebagai Perdana Menteri dari tahun 2001 hingga 2006 sebelum digulingkan melalui kudeta militer, hingga Paetongtarn, dua kali berturut-turut menduduki kursi Perdana Menteri. Namun, serangkaian kasus hukum dan intrik politik kini menyingkirkan dinasti ini dari tampuk kekuasaan.

"Langkah Pheu Thai sudah seakan pentas terakhir," ujar Wanwichit Boonprong, seorang pengamat politik. "Tirai sudah benar-benar ditutup."

Dengan terpilihnya Anutin, Thailand memasuki babak baru dalam sejarah politiknya. Anutin dijadwalkan akan segera menerima pengesahan dari Raja Maha Vajiralongkorn sebelum membentuk kabinet. Namun, dengan syarat oposisi yang ketat dan ketidakpastian hukum yang terus menghantui Thaksin, stabilitas politik negeri ini masih jauh dari terjamin.

Scroll to Top