Jakarta – Video mukbang, tontonan yang menampilkan aksi makan dalam jumlah besar sambil berinteraksi dengan penonton, kini semakin populer. Namun, sebuah studi terbaru mengungkap adanya potensi keterkaitan antara kebiasaan menonton mukbang dengan risiko depresi.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal BMC Psychiatry tahun 2025 ini melibatkan 1.210 orang dewasa di Korea Selatan. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan frekuensi menonton video mukbang mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh responden (47,5%) menonton mukbang. Prevalensi depresi secara keseluruhan adalah 18,4%. Menariknya, orang yang menonton mukbang ≥ 3 kali seminggu memiliki kecenderungan depresi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak menonton sama sekali.
"Dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah menonton, kelompok yang paling sering menonton mukbang menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi," ungkap peneliti.
Studi ini juga menemukan perubahan pola makan pada mereka yang gemar menonton mukbang. Sebagian melaporkan meniru makanan yang dilihat di video, memasak menu serupa, atau bahkan ngemil dengan porsi yang lebih besar.
Meskipun studi ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung, peneliti menawarkan dua kemungkinan penjelasan. Pertama, mukbang mungkin menjadi mekanisme koping bagi individu yang merasa tertekan atau kesepian. Video mukbang menciptakan ilusi interaksi sosial, membuat penonton merasa terhubung meskipun sedang sendirian.
Kedua, kemungkinan ada hubungan dua arah. Orang yang sudah mengalami gejala depresi mungkin mencari hiburan melalui mukbang, yang pada akhirnya justru memperburuk kondisi mereka.
"Individu dengan gejala depresi mungkin lebih cenderung mencari konten mukbang sebagai pengalih perhatian atau penghibur," jelas peneliti.
Penelitian ini memberikan peringatan penting mengenai dampak potensial dari kebiasaan menonton mukbang terhadap kesehatan mental. Meskipun mukbang bisa menjadi sumber hiburan, penting untuk menyadari potensi risikonya, terutama bagi mereka yang rentan terhadap depresi.