Nicolás Maduro Moros, sosok yang kini menjabat sebagai Presiden Venezuela sejak 2013, adalah penerus ideologi sosialis Hugo Chavez. Kini, ia menjadi target utama Amerika Serikat, dengan Washington menawarkan imbalan fantastis sebesar USD50 juta (setara Rp820 triliun) untuk informasi yang mengarah pada penangkapannya atas tuduhan keterlibatan dalam kartel narkoba.
Latar belakang Maduro jauh dari kesan seorang pemimpin negara. Lahir dari keluarga kelas pekerja di Caracas pada 23 November 1962, ia memulai karirnya sebagai sopir bus di Metro Caracas, kemudian menjadi tokoh penting dalam serikat buruh transportasi. Pengalaman ini membentuk akar ideologisnya dan keterlibatannya dalam gerakan akar rumput.
Perannya dalam mendukung pembebasan Hugo Chávez dari penjara pada 1992 menjadi titik balik dalam karir politiknya. Setelah menghabiskan waktu di Kuba untuk memperdalam ilmu politiknya, Maduro kembali ke Venezuela dan menanjak karirnya di pemerintahan. Ia menjadi anggota Konstituante pada 1999, Ketua Parlemen pada 2005, Menteri Luar Negeri dari 2006 hingga 2012, Wakil Presiden pada 2012, dan akhirnya terpilih menjadi Presiden pada 2013.
Masa jabatannya sebagai presiden ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, termasuk hiperinflasi, kelangkaan makanan dan obat-obatan, serta penurunan nilai mata uang Bolivar. Kondisi ini diperburuk oleh praktik korupsi dan pengelolaan pemerintahan yang buruk.
Kemenangannya dalam pemilihan umum 2018 dan 2024 diwarnai kontroversi dan tuduhan kecurangan, memicu penolakan dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Pada tahun 2019, pemimpin oposisi Juan Guaidó mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara, namun Maduro tetap memegang kendali kekuasaan hingga saat ini.
Pada Maret 2020, pemerintahan Presiden Donald Trump menuduh Maduro melakukan "narco-terorisme" dan menawarkan hadiah USD15 juta untuk informasi yang membantunya ditangkap. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi USD25 juta di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, dan kini mencapai USD50 juta di era pemerintahan kedua Trump.
AS menuduh Maduro memimpin Cartel de los Soles, sebuah organisasi narkoba korup yang telah beroperasi selama lebih dari satu dekade. Kartel ini diduga bekerja sama dengan kelompok-kelompok seperti FARC, Tren de Aragua, dan Kartel Sinaloa untuk memasok kokain (termasuk yang dicampur fentanyl) ke Amerika Serikat.
Departemen Kehakiman dan Departemen Luar Negeri AS mengklaim bahwa DEA telah menyita sekitar 30 ton kokain yang terkait dengan jaringan tersebut, dengan hampir 7 ton di antaranya secara langsung dikaitkan dengan Maduro. Selain itu, aset pribadi senilai lebih dari USD700 juta, termasuk jet pribadi, rumah mewah, kuda, kendaraan, dan uang tunai, juga telah disita.
Pemerintah Venezuela mengecam keras tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai propaganda politik dan upaya untuk mendiskreditkan pemerintah. Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum juga menyatakan bahwa Meksiko tidak memiliki bukti hubungan antara Maduro dan Kartel Sinaloa.
Maduro sendiri menolak keras tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai fitnah imperialisme. Ia menegaskan bahwa AS menggunakan isu narkoba sebagai alasan untuk melakukan intervensi militer dan menggulingkan pemerintahannya.
"Sebagaimana tidak benar bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, apa yang mereka katakan tentang Venezuela juga tidak benar," tegas Maduro, merujuk pada alasan di balik invasi AS ke Irak tahun 2003.