Mars, planet tetangga Bumi, menyimpan segudang misteri yang terus dipecahkan oleh ilmu pengetahuan modern. Dulunya, Mars diyakini memiliki sungai dan iklim yang mendukung keberadaan air dalam bentuk cair. Namun, kini Mars adalah gurun yang tandus. Pertanyaan besar yang muncul: Mengapa perubahan drastis ini bisa terjadi dan sudah berapa lama kondisi ini berlangsung?
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature mengungkapkan temuan penting yang bisa menjawab misteri ini. Data dari misi Curiosity NASA menunjukkan adanya batuan kaya mineral karbonat. Keberadaan batuan ini menjadi petunjuk kunci untuk mengetahui ke mana hilangnya atmosfer Mars.
Selama ini, para ilmuwan bertanya-tanya mengapa Bumi mampu mempertahankan kondisinya yang layak huni, sementara Mars kehilangan kelayakan huninya. Padahal, komposisi Mars mirip dengan Bumi: berbatu, kaya karbon dan air, serta berada pada jarak yang ideal dari Matahari. Namun, Mars "mengatur" dirinya sendiri menjadi planet gurun.
Data yang diperoleh menunjukkan adanya lembah sungai dan dasar danau purba di permukaan Mars. Hal ini mengindikasikan bahwa Mars pernah memiliki iklim yang cukup hangat untuk menampung air cair. Jejak bencana lingkungan yang mengubah Mars menjadi gurun tersimpan di bebatuan permukaannya.
Teknologi canggih memungkinkan para ilmuwan menjelajahi Mars secara mendalam. Jika ingin membuat Mars kembali layak huni, diperlukan mekanisme untuk menjaga stabilitas suhunya dari waktu ke waktu. Bumi memiliki sistem yang seimbang untuk memindahkan karbon dari atmosfer ke batuan dan sebaliknya.
Karbon dioksida di atmosfer Bumi berperan dalam menghangatkan planet ini. Namun, suhu yang lebih hangat memicu reaksi yang mengunci karbon dioksida di dalam batuan. Proses ini menangkal kenaikan suhu dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer melalui letusan gunung berapi. Siklus ini menjaga suhu Bumi relatif stabil selama jutaan tahun.
Di Mars, siklus serupa tidak terjadi. Kecerahan Matahari yang meningkat secara perlahan juga menjadi faktor penyebab hilangnya air di Mars. Meskipun air menyebabkan karbon dioksida terkunci di bebatuan, Mars tidak memiliki gunung berapi aktif yang dapat melepaskan karbon kembali ke atmosfer.
Mars saat ini tidak aktif secara vulkanik. Laju pelepasan gas vulkanik di Mars sangat lambat, sehingga tidak ada keseimbangan antara karbon dioksida yang masuk dan keluar. Jika ada sedikit saja air cair, karbon dioksida akan diserap melalui pembentukan karbonat.
Model yang dikembangkan menunjukkan bahwa Mars mengalami periode singkat keberadaan air cair, diikuti oleh periode gurun selama 100 juta tahun. Kesenjangan kelayakhunian selama 100 juta tahun ini berdampak buruk bagi potensi kehidupan di Mars.
Penemuan batuan kaya karbonat oleh wahana Curiosity menjadi bagian yang hilang dari teka-teki Mars. Untuk memiliki air cair, Mars membutuhkan atmosfer yang lebih tebal dari gas rumah kaca seperti karbon dioksida. Namun, saat ini atmosfer Mars sangat tipis. Ke mana karbonat ini menghilang?
Hipotesisnya adalah karbonat terhisap ke dalam bebatuan, seperti yang terjadi di Bumi. Namun, diperlukan pengujian lebih lanjut untuk memastikan apakah karbonat tersebut tersebar luas seperti yang diduga. Penjelajahan langsung di Mars akan memberikan hasil yang lebih pasti.
Pengukuran kimia dan mineralogi dari batuan karbonat sangat penting dalam upaya memahami bagaimana dan mengapa sebuah planet tetap layak huni, serta untuk mencari dunia lain yang ramah di alam semesta.