Israel dituduh memiliki rencana terselubung untuk mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza, sebuah tuduhan yang menempatkan Mesir dalam posisi sulit. Analis politik Timur Tengah mengungkapkan bahwa tujuan utama Israel adalah mengurangi populasi Palestina di Gaza sebanyak mungkin, dengan kedok "relokasi sukarela."
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada kesukarelaan. Warga Palestina didorong ke wilayah selatan yang sempit, mirip "kamp konsentrasi", di mana mereka terus menghadapi bahaya. Setiap upaya mencari makanan berisiko nyawa. Dalam situasi putus asa ini, tawaran "melarikan diri" menjadi daya tarik yang sulit ditolak.
Situasi ini menempatkan Mesir dalam dilema kemanusiaan dan politik. Jika Mesir membuka perbatasan, mereka akan membantu mewujudkan rencana Israel. Namun, jika mereka menutupnya, warga Palestina berisiko terbunuh di perbatasan.
Menteri Luar Negeri Mesir mengecam keras klaim Israel tentang "pemindahan sukarela" sebagai "omong kosong". Sementara itu, Perdana Menteri Israel mengklaim memiliki "rencana berbeda untuk membangun kembali Gaza" dan menuduh bahwa separuh penduduk ingin meninggalkan Gaza, yang menurutnya "bukan pengusiran massal". Dia bahkan mengisyaratkan bersedia membuka Rafah bagi mereka, tetapi Mesir akan segera menutupnya.
Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan kembali penolakannya terhadap pengusiran paksa warga Palestina, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional dan kejahatan perang. Mesir menegaskan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam praktik semacam itu atau menjadi perantara pengungsian warga Palestina, sebuah "garis merah" yang tidak akan dilanggar.