Menkeu Ingatkan Risiko Ekonomi Era Prabowo: Swasta Bisa Tercekik Jika Likuiditas Seret

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan peringatan serius mengenai potensi risiko ekonomi besar di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Peringatan ini terkait dengan kemungkinan tertekannya kontribusi sektor swasta akibat masalah likuiditas.

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Purbaya menjelaskan bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ekonomi Indonesia kurang optimal karena terlalu bergantung pada dukungan fiskal pemerintah. Kontribusi sektor swasta, yang seharusnya mencapai 90%, justru mengalami penurunan.

"Mesin ekonomi kita pincang. Hanya pemerintah yang bergerak, sementara 90% kontribusi dari swasta terhenti atau melambat," ujarnya. Kondisi ini dinilai menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi hanya berada di bawah 5%.

Purbaya membandingkan situasi ini dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6% berkat peredaran uang tunai yang sehat. Pada masa SBY, basis moneter tumbuh rata-rata lebih dari 17%, mendorong likuiditas perbankan dan pertumbuhan kredit yang pesat.

"Saat zaman Pak SBY, meskipun tidak fokus pada pembangunan infrastruktur besar-besaran, sektor swasta yang menghidupi dan menjalankan ekonomi," katanya. Hal ini berdampak positif pada penerimaan pajak, yang saat itu lebih tinggi 0,6% dibandingkan era Jokowi.

Sebaliknya, di era Jokowi, pertumbuhan uang yang beredar hanya sekitar 7%, bahkan sempat mencapai 0% beberapa tahun sebelum krisis Covid-19. Purbaya khawatir kondisi ini bisa terulang di pemerintahan saat ini jika tidak ada perubahan kebijakan.

"Zaman Pak Prabowo juga bisa mengalami hal yang sama. Jika pemerintah lambat dalam belanja dan mencekik perekonomian dari sisi lain, ditambah kondisi moneter yang serupa, situasinya bisa lebih buruk," tegasnya.

Kekeringan likuiditas dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang berkepanjangan dan memicu demonstrasi. Purbaya bertekad untuk membalikkan kondisi ini dengan menghidupkan kembali mesin fiskal dan moneter.

Salah satu langkah yang akan diambil adalah menarik dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI), yang terdiri dari SAL (Saldo Anggaran Lebih) dan SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran). Dana ini akan disalurkan ke perbankan untuk menghidupkan kembali perekonomian.

"Saya sekarang punya Rp 425 triliun di BI. Besok saya akan tarik Rp 200 triliun," ujarnya. Purbaya berharap langkah ini dapat menghidupkan kembali ekonomi jika dana tersebut masuk ke sistem dan tidak diserap kembali oleh BI.

Scroll to Top