Menteri Keuangan menegaskan bahwa tragedi krisis moneter 1998 tidak boleh terulang kembali, apalagi di tengah tekanan ekonomi global yang kian membayangi. Efek dahsyat krisis 1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia harus dipahami betul akar masalahnya, agar kesalahan serupa tak lagi terulang.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menkeu menjelaskan bahwa pasca krisis 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mendekati titik nol. Upaya pemulihan kemudian dilakukan secara bertahap, hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu mendongkrak pertumbuhan hingga 6%. Namun, laju pertumbuhan sedikit melambat di era Presiden Joko Widodo, dengan rata-rata di bawah 5%.
Menkeu menguraikan bahwa krisis keuangan Asia 1997 yang awalnya menghantam Thailand dan Korea, justru berakibat paling parah bagi Indonesia. Analisis mendalam pun dilakukan, dengan berkaca pada pengalaman krisis di Amerika Serikat pada 1930-an yang telah dikaji oleh para ekonom peraih Nobel.
"Saat krisis 1930 di AS, suku bunga sudah nol persen, tapi ekonomi tetap tercekik karena peredaran uang primer negatif," jelas Menkeu. Kondisi serupa terjadi di Indonesia saat krisis 1998. Suku bunga memang dinaikkan untuk menahan tekanan kurs, namun peredaran uang primer justru diperbanyak, memicu lonjakan inflasi.
"Kita melakukan kesalahan fatal. BI menaikkan bunga hingga lebih dari 60% untuk menjaga rupiah, seolah-olah kebijakan uang ketat. Padahal, base money tumbuh 100%! Kebijakannya kacau balau," tegasnya. Kebijakan moneter yang tidak jelas arah ini, menurutnya, menjadi pemicu kehancuran ekonomi Indonesia pada 1998.
"Kebijakan yang kacau akan melahirkan ‘setan-setan’ kebijakan. Bunga tinggi menghancurkan sektor riil, uang yang banyak justru dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita. Kita membiayai kehancuran ekonomi sendiri tanpa sadar," paparnya.
Menkeu menekankan bahwa kesalahan ini bukan semata-mata karena kelalaian para ekonom saat itu, melainkan karena Indonesia belum pernah mengalami kondisi serupa seperti The Great Depression di AS pada 1930-an. "Kita belum tahu seperti apa situasinya, sehingga kita melakukan kesalahan. Saat krisis keuangan global 2008, kebijakan kita sudah berubah," pungkasnya.