India kini berada di persimpangan jalan perdagangan global. Di satu sisi, New Delhi aktif mendorong reformasi di dalam blok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan antar anggotanya. Di sisi lain, India menghadapi tekanan besar dari Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) virtual BRICS, Menteri Luar Negeri India, S. Jaishankar, menyoroti defisit perdagangan India yang signifikan dengan sesama negara anggota BRICS, khususnya dengan China dan Rusia. Data menunjukkan defisit perdagangan India dengan China mencapai rekor USD99,21 miliar pada tahun fiskal 2025, sementara dengan Rusia mencapai USD59 miliar akibat lonjakan impor minyak. Jaishankar menekankan pentingnya meninjau aliran perdagangan di antara negara anggota BRICS agar blok ini dapat terus berkembang di tengah tekanan global.
Situasi semakin rumit dengan pemberlakuan tarif tinggi oleh AS terhadap produk-produk India. Tarif yang mencapai hingga 50 persen ini, jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan pada barang asal China, menimbulkan tekanan tambahan bagi India dalam negosiasi perdagangan BRICS.
Penasihat dagang Trump, Peter Navarro, bahkan memberikan peringatan keras, menyebut kebijakan tarif India sebagai yang tertinggi di dunia. Ia mengingatkan bahwa jika India tidak bekerja sama dengan AS dalam pembicaraan dagang, akan ada konsekuensi buruk. Navarro juga menyoroti kedekatan India dengan Rusia dan China, serta peningkatan impor minyak dari Moskow, sebagai indikasi kebijakan yang dapat memperkuat poros BRICS di luar kepentingan Washington. Lebih jauh, ia menyebut negara-negara BRICS sebagai "vampir" yang menguras pundi-pundi Amerika melalui praktik perdagangan yang dianggap tidak adil.
Presiden China, Xi Jinping, menanggapi dengan mengingatkan bahaya perang dagang, yang menurutnya hanya akan merusak tatanan perdagangan global.
Meskipun ketegangan meningkat, terdapat tanda-tanda kemungkinan rekonsiliasi. Trump tetap menyebut Perdana Menteri India, Narendra Modi, sebagai "perdana menteri hebat" dan menegaskan pentingnya hubungan khusus AS-India. Modi merespons dengan sikap positif, membuka peluang bagi diplomasi sebagai jalan keluar.
Diskursus mengenai tarif, defisit perdagangan, serta posisi strategis BRICS diperkirakan akan terus mewarnai dinamika global. Baik India maupun Amerika Serikat menyadari bahwa meskipun tensi meningkat, hubungan kedua negara tetap menjadi salah satu kunci keseimbangan ekonomi internasional.