Polemik seputar CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, terus bergulir. Seorang pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) menyoroti pentingnya membedakan antara kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi dengan tindakan provokasi yang berpotensi merusak persatuan bangsa.
Sang pengamat menekankan bahwa kebebasan sipil, berekspresi, dan berpendapat memiliki batasan. Hak-hak ini harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan tidak melanggar hukum, termasuk menyebarkan ujaran kebencian atau menggiring opini yang dapat mencemarkan nama baik institusi TNI maupun individu prajurit.
Keterlibatan empat perwira tinggi TNI yang berkonsultasi dengan Polda Metro Jaya terkait dugaan fitnah dan pencemaran nama baik oleh Ferry Irwandi dinilai sebagai langkah positif. Konsultasi ini bertujuan untuk mengklarifikasi fakta-fakta terkait kerusuhan Agustus 2025 yang menyeret nama TNI.
Tudingan bahwa konten yang dibuat Ferry Irwandi mengarahkan opini publik pada keterlibatan TNI dalam kerusuhan tersebut merupakan isu serius. TNI merasa perlu mengambil tindakan hukum untuk melindungi nama baik prajurit dan institusi secara keseluruhan.
TNI dan Polri telah memberikan pernyataan resmi terkait kesalahpahaman atas tudingan keterlibatan prajurit dalam kerusuhan di beberapa daerah. Polri bahkan telah meminta maaf dan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Penelusuran yang dilakukan oleh berbagai satuan di TNI dan Polri menemukan bahwa tudingan tersebut tidak benar dan merugikan TNI.
Data dan fakta yang dikumpulkan oleh TNI menunjukkan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan Ferry Irwandi melalui berbagai platform digital dan televisi. Laporan kepada kepolisian merupakan langkah yang wajar, mengingat pernyataan-pernyataan tersebut dinilai memfitnah dan merugikan TNI.
Pencemaran nama baik prajurit TNI semakin diperparah dengan sikap Ferry Irwandi yang tetap berpegang pada video lama terkait penemuan kartu anggota TNI saat penangkapan oleh Brimob, meskipun sudah ada klarifikasi terbaru dari pihak kepolisian.
TNI telah melakukan klarifikasi publik atas tudingan tersebut tanpa bertindak sebagai aparat penegak hukum. Namun, jika fitnah dibiarkan, publik akan menganggap konten yang dibuat Ferry Irwandi sebagai kebenaran.
Sebagai catatan, TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap warga sipil. Fungsi penegakan hukum terhadap warga sipil berada di tangan Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan Umum.
Sebelumnya, Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) Mabes TNI telah mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan Ferry Irwandi. Namun, laporan TNI tersebut tidak dapat diproses karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa institusi tidak dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik.
Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menghargai putusan MK dan menyatakan bahwa pihaknya akan menimbang langkah hukum secara cermat. Upaya konsultasi yang dilakukan Dansatsiber Mabes TNI bukan semata-mata untuk kepentingan institusi, melainkan demi menjaga martabat prajurit.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) menyarankan agar TNI membuka dialog dengan Ferry Irwandi dalam suasana keterbukaan dan prasangka baik. Jika tulisan-tulisan Ferry Irwandi mengandung unsur dugaan pidana, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dan dapat dibuktikan. Namun, jika tulisan-tulisan tersebut bersifat kritik yang konstruktif, maka hal itu adalah bagian dari kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh UUD.