Di tengah gempuran film drama hukum modern dengan efek visual canggih, hadir sebuah karya klasik yang membuktikan bahwa kekuatan drama murni jauh lebih menggugah. Film itu adalah "12 Angry Men". Lebih dari sekadar kisah persidangan, film ini menyelami kompleksitas manusia, prasangka, dan keberanian satu suara yang menentang arus. Karya Sidney Lumet tahun 1957 ini, dengan naskah memukau dari Reginald Rose, telah menjadi tolok ukur film drama hukum hingga kini. Dialognya tajam, karakternya kompleks, dan pesannya tetap relevan di era modern.
"12 Angry Men" diakui sebagai salah satu dari 100 film paling berpengaruh di Amerika Serikat oleh American Film Institute. Film ini meraih rating sempurna 100% di Rotten Tomatoes dan dinominasikan untuk Oscar sebagai Sutradara Terbaik dan Film Terbaik.
Uniknya, keseluruhan film berdurasi 96 menit ini mengambil latar di ruang sidang dan ruang juri, dipenuhi dengan dialog dan perdebatan hukum yang intens.
Kisah berawal dengan 12 juri yang menangani kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada seorang remaja keturunan Puerto Rico dari kalangan ekonomi lemah. Remaja tersebut dituduh membunuh ayahnya dan terancam hukuman mati.
Para juri harus mencapai keputusan bulat berdasarkan bukti-bukti yang ada. Awalnya, sebagian besar juri yakin bahwa terdakwa bersalah.
Namun, Juri No. 8, diperankan oleh Henry Fonda, meragukan keputusan terburu-buru tersebut. Ia mempertanyakan keabsahan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Ia menyoroti kejanggalan dalam keterangan saksi, misalnya saksi berkebutuhan khusus yang keterangannya dianggap tidak relevan. Ia juga mempertanyakan kredibilitas saksi yang rabun yang mengaku melihat terdakwa menusuk korban tanpa menggunakan kacamata.
Berkat kegigihan Juri No. 8, satu per satu juri mulai meragukan keyakinan mereka. Akhirnya, seluruh juri sepakat menyatakan terdakwa tidak bersalah.
Film ini menyoroti prasangka yang kerap melekat pada individu dari kalangan minoritas. Terdakwa, seorang imigran dari Puerto Rico yang hidup di lingkungan kumuh, dengan mudah distigma dan dianggap bersalah.
Sidney Lumet ingin menekankan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa bias, tanpa memandang kelas sosial, suku, atau kondisi ekonomi.
Selain itu, film ini menggambarkan Juri No. 8 sebagai sosok teladan yang kritis, berani, dan tegas dalam membela kebenaran. Ia mampu mengulas dan mempertanyakan setiap bukti yang dihadirkan di persidangan.
"12 Angry Men" juga mengeksplorasi prinsip reasonable doubt. Hakim harus benar-benar yakin atas kesalahan terdakwa berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Keraguan yang wajar harus membebaskan terdakwa dari tuduhan. Para pengadil harus profesional, independen, dan bebas dari kebencian terhadap terdakwa.