Pemerintah mengambil langkah besar dengan mengalokasikan dana Rp200 triliun kepada lima bank BUMN (Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI). Kebijakan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali pertumbuhan kredit yang lesu, yang saat ini berada di angka 7,7 persen, serta menggerakkan roda ekonomi riil. Namun, efektivitas suntikan dana ini sangat bergantung pada bagaimana ia dikelola dan diawasi.
Langkah ini muncul di tengah situasi paradoks: Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pinjaman yang lebih terjangkau, tetapi pertumbuhan kredit justru melambat. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam penyaluran likuiditas. Bank-bank cenderung memilih instrumen yang lebih aman seperti SRBI dan SBN, yang membuat kebijakan moneter kurang efektif.
Pemerintah kemudian memilih pendekatan yang lebih langsung, yaitu menempatkan dana negara langsung ke bank-bank BUMN. Ini adalah langkah intervensi fiskal yang agresif, namun juga menimbulkan beberapa pertanyaan penting:
Skema Deposit On-Call: Dana ini tersedia bagi pemerintah kapan saja. Meskipun memberikan fleksibilitas bagi bank, penarikan dana yang mendadak dapat menyebabkan masalah likuiditas jika bank menggunakan dana jangka pendek ini untuk pinjaman jangka panjang.
Penunjukan Langsung: Mengapa hanya lima bank BUMN yang mendapatkan dana ini? Tanpa proses lelang yang kompetitif, kebijakan ini berpotensi membatasi persaingan dan memusatkan likuiditas hanya pada beberapa pemain saja.
Suku Bunga Subsidi: Suku bunga yang diberikan pemerintah (4,83 persen) jauh di bawah suku bunga pasar. Pertanyaannya adalah, apakah subsidi ini akan diteruskan kepada peminjam dalam bentuk suku bunga kredit yang lebih rendah, atau hanya meningkatkan keuntungan bank?
Satu hal positif adalah larangan bagi bank untuk menggunakan dana ini untuk membeli SBN. Ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin dana ini benar-benar masuk ke sektor riil. Pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk memastikan hal ini terjadi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berperan penting dalam memantau penyaluran dan penggunaan dana ini.
Kebijakan ini memiliki potensi untuk meningkatkan kredit, memberikan dorongan bagi UMKM, dan memberikan keuntungan yang lebih baik bagi negara. Namun, risiko eksekusi sangat besar. Apakah bank-bank benar-benar akan menyalurkan dana ini sebagai kredit baru, atau hanya menggunakannya untuk memperbaiki rasio keuangan mereka?
Selain itu, ada risiko moral hazard. Bank-bank BUMN mungkin merasa akan selalu diselamatkan oleh pemerintah jika ada masalah, yang dapat mengurangi disiplin dalam pengelolaan risiko.
Agar suntikan dana ini efektif, beberapa langkah harus diambil:
Mempercepat Belanja Pemerintah (APBN): Tanpa ini, dana yang disalurkan hanya akan memperpanjang masalah likuiditas.
Stimulus Sisi Permintaan Kredit: Pemerintah perlu mempermudah perizinan usaha dan memberikan kepastian hukum untuk mendorong permintaan kredit.
Kepastian Hukum Bagi Bankir: Aparat penegak hukum perlu mengubah sudut pandang mereka terhadap kredit macet agar bankir tidak takut memberikan pinjaman.
Tanpa upaya-upaya ini, kebijakan ini berisiko menjadi subsidi terselubung untuk perbankan yang dapat menyebabkan distorsi pasar dan beban fiskal di masa depan. Pemerintah perlu memastikan bahwa dana ini benar-benar digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.