Mimpi bangsa Palestina untuk memiliki negara merdeka semakin nyata. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru saja mengadopsi Deklarasi New York, sebuah langkah signifikan yang didukung oleh mayoritas anggota. Dari 193 negara anggota PBB, 142 negara memberikan suara setuju.
Deklarasi New York sendiri merupakan buah dari konferensi internasional yang diinisiasi oleh Prancis dan Arab Saudi pada tanggal 28-30 Juli 2025. Inti dari deklarasi ini adalah penyelesaian konflik Palestina-Israel secara damai melalui solusi dua negara (two-state solution).
Menurut Duta Besar Prancis, Jérôme Bonnafont, Deklarasi New York menawarkan peta jalan yang jelas untuk mewujudkan solusi tersebut. Peta jalan ini mencakup beberapa poin penting, seperti gencatan senjata segera di Gaza, pembebasan sandera, dan yang terpenting, pembentukan negara Palestina yang mandiri dan berdaulat.
Pemungutan suara bersejarah yang berlangsung pada Jumat, 12 September 2025, menunjukkan dukungan luas dari negara-negara Arab, negara-negara Islam, bahkan sebagian besar negara Barat. Meskipun demikian, Amerika Serikat memilih untuk menolak deklarasi tersebut.
Negara-negara sekutu Amerika Serikat seperti Prancis dan Inggris justru memberikan dukungan penuh. Rusia dan China, dua kekuatan dunia lainnya, juga mendukung kemerdekaan Palestina. Bahkan Suriah, yang dikenal sebagai "musuh AS", turut menjadi bagian dari kekuatan pendukung Palestina.
Indonesia, seperti yang diharapkan, tetap konsisten dalam dukungannya terhadap pembentukan negara Palestina. Sikap ini sejalan dengan dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab dan Islam lainnya.
Di sisi lain, selain Amerika Serikat, beberapa negara yang menentang kemerdekaan Palestina antara lain Israel, Argentina, Hungaria, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay, dan Tonga.
Israel dengan keras menolak keberadaan negara Palestina. Mereka menyebut deklarasi dan konferensi tersebut sebagai tindakan "sepihak" dan "taktik prosedural serta penyalahgunaan Majelis". Perwakilan Israel bahkan menyebutnya sebagai "sandiwara", bukan diplomasi.
Perwakilan Amerika Serikat juga mengkritik deklarasi tersebut, menganggapnya merusak upaya diplomatik dan sebagai "hadiah bagi Hamas".