Seorang pria dengan kondisi kekebalan tubuh yang terganggu mengalami infeksi COVID-19 yang luar biasa, bertahan selama lebih dari 750 hari. Selama periode tersebut, ia terus menerus mengalami masalah pernapasan dan memerlukan perawatan di rumah sakit sebanyak lima kali.
Walaupun durasinya sangat panjang, kondisi ini berbeda dari long COVID pada umumnya. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa pria ini mengalami fase aktif virus SARS-CoV-2 yang terus berlanjut selama lebih dari dua tahun, bukan gejala sisa setelah virus hilang.
Para ahli di Amerika Serikat memperingatkan bahwa kejadian ini mungkin hanya terjadi pada individu yang rentan. Studi terbaru mereka menyoroti potensi bahaya dari kasus infeksi berkepanjangan semacam ini.
"Infeksi yang berlangsung lama memberikan kesempatan bagi virus untuk mengembangkan cara yang lebih efektif dalam menginfeksi sel. Ini semakin memperkuat bukti bahwa varian yang lebih mudah menular bisa muncul dari infeksi semacam itu," ungkap seorang ahli epidemiologi dari Universitas Harvard.
Analisis genetik terhadap sampel virus yang dikumpulkan dari pasien antara Maret 2021 dan Juli 2022 menunjukkan bahwa virus tersebut mengalami mutasi yang signifikan selama periode infeksi yang panjang.
"Dalam satu individu, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan," jelas para peneliti. "Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang sebagai respons terhadap tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh manusia."
Pasien Terdiagnosis HIV-1
Pasien ini sebelumnya didiagnosis dengan HIV-1 stadium lanjut dan diyakini terinfeksi SARS-CoV-2 pada pertengahan Mei 2020. Pada saat itu, ia belum menerima terapi antiretroviral (ART).
Ia juga menghadapi kesulitan mengakses perawatan medis yang memadai meskipun mengalami berbagai gejala seperti masalah pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan kelelahan.
Pria berusia 41 tahun tersebut memiliki jumlah sel T pembantu imun yang sangat rendah, yaitu hanya 35 sel per mikroliter darah. Normalnya, jumlah sel T pembantu imun berkisar antara 500 hingga 1.500 sel per mikroliter, menjelaskan mengapa virus dapat bertahan begitu lama dalam tubuhnya.
Untungnya, dalam kasus ini, virus COVID-19 yang membandel ini tampaknya tidak terlalu menular.
"Tidak adanya infeksi lanjutan yang diduga terjadi mungkin mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi virus terhadap satu inang," kata para peneliti.
Namun, tidak ada jaminan bahwa infeksi persisten lainnya di dalam tubuh manusia akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Hal ini membuat para ahli tetap waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan serta akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang.
"Menangani infeksi berkepanjangan semacam ini harus menjadi prioritas bagi sistem layanan kesehatan," simpul para peneliti.
Untuk mengurangi risiko mutasi yang berbahaya, dokter dan peneliti mengimbau masyarakat untuk terus melakukan vaksinasi dan tetap menggunakan masker di tempat umum yang ramai.