Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait kebijakan pemerintah yang mengalihkan dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan untuk disalurkan sebagai kredit. Menurutnya, langkah ini berpotensi melanggar konstitusi dan beberapa undang-undang.
Didik menekankan pentingnya mematuhi aturan dan menjaga integritas lembaga negara. Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kebijakan tersebut. Ia berpendapat bahwa program semacam ini seharusnya melalui proses legislasi yang transparan dan terstruktur, dimulai dari pembahasan dalam APBN. Jumlah dana yang dibutuhkan dan program yang akan dijalankan harus jelas dan sistematis.
Proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur secara ketat dalam UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahunnya. Prosedur resmi dan aturan ketatanegaraan harus dihormati, karena anggaran negara adalah ranah publik, bukan dana pribadi atau perusahaan.
"Kebijakan spontan mengalihkan anggaran negara Rp200 triliun ke perbankan, lalu masuk ke kredit perusahaan, industri, atau individu, melanggar prosedur yang diatur oleh undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar," tegas Didik.
Ia memperingatkan bahwa jika proses kebijakan yang benar tidak dijalankan, hal ini dapat menjadi preseden buruk di masa depan, di mana anggaran publik digunakan sembarangan. "Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau presiden sekalipun," tambahnya.
Pejabat negara harus patuh pada aturan dan menjalankan kebijakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yang berasal dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tidak boleh ada program yang tiba-tiba muncul tanpa perencanaan yang matang.
Program-program yang tersusun rapi dalam Nota Keuangan diajukan secara resmi oleh pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara adalah ranah publik, proses politik harus dijalankan bersama oleh DPR, melalui pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri, serta Badan Anggaran dengan Menteri Keuangan.
"Setiap program yang menjalankan anggaran negara tanpa melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program ‘nyelonong’ dengan memanfaatkan anggaran, maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, sehingga terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara," jelas Didik.
Ia menegaskan bahwa setiap Rupiah dari anggaran negara harus melalui pembahasan dengan DPR dan berdasarkan asumsi yang disepakati di setiap komisi, ditetapkan oleh Badan Anggaran, lalu disetujui di Sidang Paripurna.
"Inilah proses yang sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur," tuturnya.
Pelaksanaan anggaran dan pengelolaan kas dijalankan oleh Kementerian Keuangan, baik penerimaan, belanja, maupun utang. Semua pengelolaan tersebut harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang.
Penempatan dana Rp200 triliun tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terutama Pasal 22, ayat 4, 8, dan 9. Ayat 4 menjelaskan bahwa Menkeu dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum.
Ayat 8 menyebutkan bahwa rekening pengeluaran diisi dana dari RUKN (Rekening Umum Kas Negara) yang ditempatkan di Bank Sentral. Namun, Ayat 9 membatasi jumlah dana yang disediakan di rekening pengeluaran sesuai dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan di APBN.
"Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang ‘seingat di kepala’ lalu dijalankan," ujar Didik.
Tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR, bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.
"Rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. Penempatan dana Rp200 triliun rupiah dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004 tersebut," pungkas Didik.