Ekonomi Indonesia Diprediksi Menguat di Tahun 2026, Efek Kebijakan Fiskal dan Moneter Mulai Terasa

Perekonomian Indonesia menunjukkan sinyal positif berkat kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang berfokus pada pertumbuhan. Pasar keuangan menjadi indikator awal yang merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berupaya mengoptimalkan belanja negara untuk meningkatkan peredaran uang dan mendorong konsumsi. Langkah ini diperkuat dengan pemindahan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank BUMN, serta paket stimulus ekonomi akhir tahun bertajuk 8+4+5.

Bank Indonesia juga turut andil dengan menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebanyak lima kali, total sebesar 125 bps, hingga mencapai 4,75% pada September 2025.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyoroti penurunan data Indonesia Overnight Index Average (INDONIA) sebesar 144 bps sejak awal tahun, penurunan SRBI tenor 6-12 bulan lebih dari 200 bps, serta penurunan yield SBN 2 tahun sekitar 185 bps. Menurutnya, hal ini menandakan penurunan biaya dana jangka pendek bank, mempercepat bekerjanya stimulus moneter.

Penurunan bunga dana dan bunga kredit perbankan memang membutuhkan waktu, namun dipercepat dengan bauran kebijakan. Data BI menunjukkan rata-rata tertimbang bunga kredit rupiah turun tipis 3 bps menjadi 9,13% dan bunga kredit baru juga turun 3 bps; di sisi dana, bunga DPK rupiah turun 6 bps menjadi 3,07% pada Agustus.

Sektor prioritas seperti konstruksi/perumahan rakyat dan green mencatatkan bunga kredit lebih rendah dari rata-rata industri, menunjukkan transmisi kebijakan mulai menyasar sektor-sektor yang dituju.

Penempatan dana pemerintah di bank BUMN menambah pasokan likuiditas murah, menekan kebutuhan bank menawarkan special rate deposito. Uang beredar (M0 Adjusted) tumbuh lebih cepat 7,34% yoy di Agustus, dan M2 juga akseleratif, indikasi bahwa transmisi ke uang beredar mulai menguat. Mekanisme pasokan likuiditas ini mendorong penurunan bunga simpanan, yang pada akhirnya berdampak pada bunga kredit.

Meskipun penurunan bunga kredit secara agregat masih tipis, OJK mencatat penurunan bunga kredit investasi sebesar 36 bps dan kredit modal kerja sebesar 20 bps secara tahunan. Bunga deposito juga mulai menurun, menandakan bahwa suku bunga untuk kredit baru cenderung bergerak lebih dulu daripada kredit berjalan. Sektor prioritas insentif, termasuk perumahan/konstruksi, menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif.

Mekanisme transmisi kebijakan dimulai dengan kredit baru yang memperoleh tarif lebih rendah, diikuti kredit berjalan sesuai jadwal peninjauan ulang tingkat bunga pinjaman. Pasar uang dan SBN merespons segera, diikuti penurunan bunga simpanan dalam 1-3 bulan. Bunga kredit, termasuk KPR/KPA, biasanya bergerak lebih berarti dalam 3-6 bulan seiring penurunan biaya dana dan peningkatan kompetisi kredit.

Penarikan kredit dan belanja riil diperkirakan menguat dalam 2-4 kuartal. Rasio fasilitas kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) masih tinggi, sebesar 22,7% dari plafon. Dengan penurunan suku bunga yang dipercepat oleh desain operasi moneter dan didukung injeksi likuiditas fiskal, efek penuh terhadap konsumsi-investasi sangat mungkin lebih terasa pada 2026, dengan perbaikan bertahap mulai muncul sejak paruh akhir 2025.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, juga memperkirakan efek terbesar dari kombinasi kebijakan moneter dan fiskal akan terasa pada 2026. Dampak tercepat akan terasa pada kuartal IV-2025 ketika bank menurunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) dan melakukan repricing kredit, cicilan KPR dan modal kerja mulai turun, serta pipeline pembiayaan bergerak karena dana pemerintah dikonversi menjadi kredit produktif. Efek penuhnya menguat pada kuartal I-II 2026 seiring keputusan investasi dan perekrutan yang membutuhkan waktu.

Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,2% untuk 2025 tetap mungkin tercapai, asalkan kuartal IV ekonomi mampu tumbuh mendekati 5,7-5,9% yoy karena efek SBDK turun nyata pada Oktober-November, lebih dari 60% dana Rp 200 triliun tersalurkan sebelum akhir Desember, dan stabilitas rupiah terjaga.

Untuk mencapai target 5,2% di tahun 2025, dengan pertumbuhan Semester I sebesar 4,99%, Semester II harus rata-rata mampu tumbuh 5,41%. Jika pertumbuhan kuartal III-2025 realistis berada di kisaran 5,0-5,1%, maka kuartal IV perlu menutup selisih agar rata-rata Semester II mencapai 5,41%, atau sekitar 5,72-5,82%. Target kerja yang aman diletakkan di rentang 5,7-5,9% agar setahun penuh mendekati 5,2%.

Scroll to Top