Bank Indonesia (BI) mengambil langkah berani di tahun 2025 dengan secara agresif memangkas suku bunga acuan. Keputusan terbaru dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu (17/9/2025) menghasilkan penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. Tidak hanya itu, Deposit Facility juga diturunkan lebih dalam, yakni 50 bps ke 3,75%, sementara Lending Facility dipangkas 25 bps menjadi 5,50%.
Pemangkasan Berkelanjutan
Sepanjang tahun 2025, BI telah menurunkan BI Rate sebanyak lima kali. Dimulai dari Januari, kemudian Mei, Juli, Agustus, dan September, masing-masing sebesar 25 bps. Total penurunan mencapai 125 bps dalam sembilan bulan terakhir.
Kilasan Balik: Dari Pandemi hingga Pengetatan
Tindakan agresif ini mengingatkan kita pada masa pandemi Covid-19 di tahun 2020. Saat itu, BI juga dengan cepat menurunkan suku bunga untuk meredam dampak ekonomi. Dalam setahun, BI Rate dipangkas 125 bps, mencapai titik terendah sepanjang sejarah di 3,50% pada Februari 2021.
Namun, ketika ekonomi mulai pulih, kebijakan moneter berbalik arah. Inflasi yang meningkat memaksa BI untuk mengetatkan kebijakan. Pada Agustus 2022, BI mulai menaikkan suku bunga, mengikuti langkah hawkish The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat.
Kenaikan suku bunga berlanjut hingga April 2024, mencapai puncaknya di 6,25%—level tertinggi sejak 2016. Meskipun berhasil menekan inflasi dan menjaga stabilitas rupiah, suku bunga tinggi juga berdampak pada biaya pinjaman, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi.
Pelonggaran Moneter untuk Mendorong Pertumbuhan
Menyadari tekanan ekonomi yang meningkat, BI mulai melonggarkan kebijakan moneternya. Pada RDG September 2024, pemangkasan pertama sebesar 25 bps dilakukan, menurunkan BI Rate menjadi 6,00%. Tren ini berlanjut hingga 2025, dengan serangkaian pemangkasan yang telah disebutkan di atas.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah inflasi yang relatif rendah.
Harapan dan Tantangan
Dengan kebijakan ini, BI berharap pertumbuhan kredit dan konsumsi masyarakat dapat meningkat, menjadi pendorong tambahan bagi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Namun, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada berbagai faktor, termasuk stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, dan pemulihan ekonomi global.