Kerusuhan Yalimo: Akar Rasisme yang Terus Bersemi di Tanah Papua

Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, kembali bergejolak. Kerusuhan yang meletus pada hari Selasa (16/09) diduga kuat dipicu oleh lontaran ucapan rasis yang menyasar masyarakat asli Papua. Insiden ini membuka kembali luka lama dan memicu pertanyaan mendasar: mengapa rasisme seolah tak pernah lekang di Bumi Cenderawasih?

Api Berkobar, Warga Mengungsi

Situasi di Yalimo mencekam. Puluhan kios dan rumah di Elelim ludes dilalap api. Gedung sekolah turut menjadi sasaran amuk massa, dan belasan kendaraan bermotor hangus tak berbentuk. Lebih dari dua puluh orang dilaporkan terluka, termasuk aparat keamanan yang terkena anak panah.

Ratusan warga non-Papua terpaksa meninggalkan rumah mereka, mencari perlindungan di Wamena dan tempat pengungsian darurat. Kisah pilu pengungsi, seperti Camila yang hanya sempat menyelamatkan diri bersama bayinya, menggambarkan betapa mengerikannya situasi di lapangan.

Ucapan Rasis Sebagai Pemicu

Menurut keterangan, kerusuhan bermula dari insiden di sebuah SMA di Elelim. Seorang siswa diduga melontarkan perkataan rasis yang menyulut emosi teman-temannya. Upaya mediasi oleh pihak sekolah gagal meredam amarah yang telah membara.

Pertikaian antarsiswa kemudian merembet ke luar sekolah, memicu aksi pembakaran yang meluas. Kios-kios yang diduga milik keluarga siswa pelaku ujaran rasis menjadi sasaran utama.

Bukan Sekadar Kerusuhan Biasa

Bagi sebagian warga Yalimo, kejadian ini bukanlah sekadar kerusuhan biasa. Ini adalah luapan kemarahan atas diskriminasi yang mereka rasakan selama ini. Isu rasisme, menurut mereka, adalah akar dari permasalahan yang berulang di Papua.

Rekonsiliasi, Bukan Pendekatan Keamanan

Menanggapi situasi ini, sejumlah tokoh agama dan adat menyerukan penyelesaian yang komprehensif. Mereka menekankan pentingnya rekonsiliasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukan sekadar pendekatan keamanan yang represif.

Rekonsiliasi "tiga tungku" yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah diharapkan mampu menjembatani perbedaan dan menyembuhkan luka lama. Dialog yang jujur dan terbuka, serta pemberian sanksi adat yang adil, dianggap sebagai kunci untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

Kasus Yalimo menjadi pengingat pahit bahwa isu rasisme masih menjadi bom waktu yang siap meledak di Papua. Tanpa upaya penyelesaian yang serius dan berkelanjutan, lingkaran kekerasan dan diskriminasi akan terus berputar, merenggut nyawa dan merusak harmoni di tanah Papua.

Scroll to Top