Dokter Anestesi Unpad Diduga Lakukan Kekerasan Seksual: Dampak dan Reaksi

Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan seorang dokter anestesi residen Universitas Padjajaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, menggemparkan dunia medis. Kasus ini mencuat setelah viral di media sosial, mengungkap laporan adanya tindakan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien.

Kronologi Kejadian

Kejadian terjadi pada pertengahan Maret 2025 di RSHS. Pelaku, yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi, meminta korban melakukan crossmatch dengan alasan mencocokkan golongan darah untuk transfusi. Korban, yang saat itu sedang menemani ayahnya yang dirawat dan membutuhkan transfusi darah, diperkosa dalam kondisi tidak sadar. Setelah sadar, korban merasakan sakit di area infus dan kemaluannya. Hasil visum menunjukkan adanya sperma di area kemaluan korban.

Tindakan Tegas dan Sanksi

Pihak universitas dan RSHS membenarkan kejadian tersebut. Unpad memberikan sanksi tegas berupa pemberhentian dari program PPDS. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga menghentikan sementara kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSHS selama satu bulan untuk evaluasi. Pihak universitas juga berjanji mendampingi korban untuk melapor ke polisi. Pelaku telah ditahan sejak 23 Maret 2025, dan polisi telah mengumpulkan sejumlah barang bukti. Kasus ini memicu laporan lain dengan dua korban lainnya yang melapor kejadian serupa.

Hak Korban dan Rekomendasi

Komnas Perempuan menyatakan bahwa korban berhak menggugurkan kehamilan jika terjadi, sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. UU tersebut memperbolehkan aborsi dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada Kemenkes untuk menetapkan kebijakan "Zona Tanpa Toleransi" terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan.

Kritik Terhadap Penghentian PPDS

Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkritik keputusan Kemenkes untuk menghentikan program PPDS. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut dapat menghambat proses pendidikan dokter spesialis yang saat ini masih kekurangan di Indonesia, serta mengganggu pelayanan kesehatan. Mereka berpendapat bahwa masalah ini adalah tindakan kriminalitas individu dan seharusnya disikapi secara obyektif dan proposional, bukan dengan menutup atau menghentikan proses pendidikan secara reaktif. Mereka menekankan pentingnya evaluasi dan penyelesaian masalah internal secara profesional oleh institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Scroll to Top