JAKARTA – Alergi makanan pada anak seringkali datang tanpa diduga dan menimbulkan reaksi serius yang mengkhawatirkan. Jangan anggap remeh! Alergi makanan bukan sekadar masalah kesehatan biasa, tetapi juga berpotensi menghambat tumbuh kembang anak yang krusial bagi masa depan bangsa.
Para ahli kesehatan anak menekankan pentingnya mengenali dan menangani alergi makanan dengan tepat. Tujuannya jelas, agar masalah ini tidak berlanjut dan mengancam terwujudnya generasi Indonesia Emas 2045.
"Anak yang sering mengalami alergi, pertumbuhan dan perkembangannya pasti terganggu. Ini bisa menjadi penghalang untuk mencapai cita-cita generasi emas 2045," tegas seorang ahli.
Bahaya Makanan Ultra-Proses
Alergi makanan terjadi ketika sistem kekebalan tubuh keliru menganggap zat tertentu dalam makanan sebagai ancaman. Makanan yang sering memicu alergi antara lain udang, susu, telur, kedelai, ikan, kacang, gandum, kerang, kepiting, dan kelapa.
Sayangnya, kasus alergi makanan semakin sering ditemukan di Indonesia. Data global menunjukkan bahwa prevalensi alergi di dunia mencapai 10-40% dari populasi. Bahkan, secara global, sekitar 4% anak-anak di seluruh dunia menderita alergi makanan, dan angka ini terus meningkat dalam dua dekade terakhir.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa sekitar 0,5–7,5% anak-anak mengalami alergi. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi makanan ultra-proses yang tinggi.
"Makanan ultra-proses dengan indeks glikemik tinggi, karbohidrat olahan, dan makanan lain berpotensi mengganggu kesehatan anak, termasuk memicu alergi," jelas seorang dokter.
Pentingnya Pemeriksaan Medis yang Tepat
Alergi pada anak tidak boleh didiagnosis dan ditangani sembarangan. Tidak semua gejala sakit pada anak disebabkan oleh alergi. Diperlukan pemeriksaan medis yang akurat sebelum menentukan pantangan diet, agar tidak menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap tumbuh kembang anak.
Banyak orang tua merasa bingung dengan pola makan anak. Ada anak yang sulit makan atau memilih-milih makanan (picky eater), ada pula yang mengalami alergi makanan.
Dokter spesialis anak yang ahli di bidang alergi dan imunologi sering menemukan berbagai kondisi terkait alergi makanan pada anak, mulai dari kesalahan diagnosis hingga diagnosis yang berlebihan.
Secara umum, alergi makanan dibedakan menjadi reaksi cepat (melalui antibodi IgE) dan reaksi lambat (melalui sel T). Reaksi cepat biasanya muncul dalam waktu kurang dari satu jam setelah makan, dengan ciri-ciri seperti biduran, bentol, muntah, nyeri perut, hingga reaksi sistemik yang mengancam jiwa seperti anafilaksis.
Anafilaksis adalah reaksi alergi paling serius. Kondisi ini ditandai dengan gejala pada setidaknya dua organ tubuh, misalnya bentol disertai sesak napas atau muntah disertai pingsan. Penanganan cepat dengan obat darurat sangat penting untuk menyelamatkan jiwa anak.
"Penanganan yang cepat dan tepat sangat krusial untuk menyelamatkan nyawa anak. Namun, di lapangan, anafilaksis sering tidak terdiagnosis dengan benar, sehingga banyak kasus yang terlewatkan dari penanganan optimal," ungkap seorang dokter.
Reaksi lambat bisa muncul beberapa jam setelah makan, dengan gejala yang lebih lama seperti diare, buang air besar berdarah, muntah berulang, atau dermatitis.
Memicu Kecemasan Keluarga
Reaksi alergi tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga memicu kecemasan keluarga karena harus sangat berhati-hati menghindari makanan pemicu.
Namun, tidak semua gejala pada anak seperti gumoh, kolik, atau diare berarti alergi makanan. Eksim atau biduran pun lebih sering dipicu oleh faktor lingkungan atau infeksi.
Masalah kulit seperti dermatitis atopik atau eksim, penyebab utamanya belum tentu alergi makanan. Eksim lebih banyak dipicu oleh gangguan lapisan kulit yang rusak, sehingga mudah meradang akibat faktor lingkungan seperti rumah yang berdebu dan polusi.
Untuk mengatasinya, bukan dengan pantangan makanan, melainkan dengan memperbaiki kulit dengan pelembap dan menghindari pemicu lingkungan. Pantangan makan yang tidak perlu justru bisa meningkatkan risiko sensitasi dan menyebabkan alergi makanan di kemudian hari.
"Jika anak tidak memiliki diagnosis pasti alergi makanan, jangan dipantang. Kita ingin memastikan terjadinya paparan oral yang bisa menyebabkan toleransi," pungkasnya.