Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem, menyerukan Arab Saudi untuk memperbaiki hubungan dengan kelompoknya dan membentuk aliansi bersama untuk melawan Israel. Ajakan ini muncul di tengah meningkatnya eskalasi serangan Israel di wilayah Lebanon selatan.
Qassem mengusulkan "halaman baru" dalam hubungan dengan Saudi, didasarkan pada dialog konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan, pengakuan bahwa Israel adalah musuh utama, dan mengesampingkan perselisihan masa lalu.
"Senjata perlawanan kami hanya ditujukan kepada Israel, bukan kepada Lebanon, Arab Saudi, atau pihak manapun di dunia," tegas Qassem. Ia memperingatkan bahwa tekanan terhadap kelompok perlawanan hanya menguntungkan Israel dan jika kelompok tersebut dilenyapkan, negara-negara lain akan menjadi target berikutnya.
Ketegangan antara Arab Saudi dan Hizbullah telah berlangsung lama, mencerminkan persaingan regional yang lebih luas antara Riyadh dan Iran, pendukung utama Hizbullah. Pada tahun 2016, Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang dipimpin Saudi, menetapkan Hizbullah sebagai organisasi "teroris" karena keterlibatannya dalam perang saudara Suriah dan dukungannya terhadap Houthi Yaman.
Qassem menggambarkan Israel sebagai "pos kolonial" yang didukung oleh Inggris dan Amerika Serikat. Ia menuduh Israel melakukan "genosida" dengan dukungan penuh AS dan mengabaikan hukum internasional.
"Perang lunak, sanksi, dan Perjanjian Abraham gagal memberikan kemenangan yang diinginkan AS dan Israel, sehingga genosida menjadi ‘solusi’ mereka," ujarnya. Ia juga menyinggung serangan Israel terhadap Qatar sebagai titik balik.
Menanggapi desakan AS agar Lebanon melucuti senjata Hizbullah berdasarkan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi pada November 2024, Qassem menyatakan kelompoknya terbuka untuk berdialog "dari posisi yang kuat." Ia menegaskan komitmennya untuk melawan pendudukan Israel dan membebaskan wilayah yang diduduki.
Permohonan Qassem kepada Arab Saudi datang setelah Riyadh dan Pakistan menandatangani pakta pertahanan bersama terkait serangan Israel terhadap Qatar.
Di lain pihak, Kementerian Kesehatan Lebanon melaporkan dua orang tewas dan 11 lainnya terluka dalam dua serangan terpisah Israel di Lebanon selatan. Militer Israel mengklaim telah menewaskan komandan Hizbullah dan anggota pasukan elit kelompok tersebut dalam serangan tersebut. Serangan ini terjadi setelah Israel menargetkan dan mengebom beberapa kota di selatan dan memperingatkan penduduk untuk mengungsi.
Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam menuduh Israel melakukan "intimidasi dan agresi" yang melanggar gencatan senjata tahun lalu dan mekanisme pemantauan internasional. Meskipun ada gencatan senjata, Israel terus menyerang Lebanon selatan hampir setiap hari. Berdasarkan kesepakatan, Hizbullah seharusnya melucuti senjata dan mundur ke utara Sungai Litani, sementara Israel seharusnya menarik diri sepenuhnya dari wilayah Lebanon. Namun, Israel tetap menduduki beberapa titik di Lebanon selatan.