Jerat Kriminalisasi Kredit Macet: Antara Pemberantasan Korupsi dan Kelumpuhan Ekonomi

Peringatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait potensi korupsi dalam penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank-bank Himbara memicu perdebatan sengit. Niat baik KPK untuk mencegah penyalahgunaan dana publik patut diapresiasi, namun analogi yang digunakan, yaitu membandingkan dengan kasus kredit fiktif di BPR, justru berpotensi menimbulkan efek "gentar" (chilling effect) yang membahayakan iklim perbankan dan pemulihan ekonomi.

Penyamaan risiko antara penempatan dana di bank BUMN dengan tata kelola dan pengawasan yang kuat dengan kejahatan perbankan klasik di BPR adalah analogi yang menyesatkan. Ini bagaikan membandingkan apel dengan jeruk, tidak relevan dan kontraproduktif. Apalagi, pernyataan tersebut muncul di tengah upaya pemerintah mendorong penyaluran kredit perbankan untuk menggerakkan roda perekonomian.

Kebijakan pemerintah "membasahi" perbankan dengan dana Rp200 triliun adalah instrumen fiskal untuk mendorong pertumbuhan. Mekanismenya melibatkan proses ketat, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ditujukan untuk proyek strategis. Sebaliknya, kasus BPR Jepara adalah murni kejahatan perbankan berupa kredit fiktif, kolusi, dan penipuan yang bisa terjadi di bank mana pun, skala apa pun.

Kekhawatiran yang ditebar KPK justru bisa membuat para bankir enggan mengambil risiko (risk aversion). Padahal, bankir adalah ujung tombak kebijakan moneter dan fiskal. Jika mereka takut dikriminalisasi, penyaluran kredit akan terhambat.

Inti masalahnya adalah aparat penegak hukum seringkali menggunakan perspektif hindsight bias, menilai keputusan bisnis masa lalu berdasarkan kondisi faktual saat ini. Dalam dunia perbankan, tidak ada kredit yang 100% pasti sukses. Setiap kredit mengandung risiko. Bankir mengambil keputusan berdasarkan analisis mendalam saat itu (ex-ante), menggunakan business judgment rule.

Jika kemudian terjadi resesi, perang dagang, atau pandemi yang menyebabkan kredit macet, lalu keputusan bankir dikriminalisasi, ini adalah ketidakadilan. Tindakan ini mengabaikan faktor unforeseen circumstances di luar kendali bankir.

Jika bankir terus dihantui kriminalisasi, dampaknya akan menghancurkan:

  1. Credit Crunch: Bankir menjadi ultra-konservatif, memilih investasi aman atau hanya memberi kredit ke perusahaan besar dengan jaminan berlebihan. UMKM dan korporasi menengah kesulitan pendanaan.
  2. Matikan Inovasi: Sektor baru yang berisiko tinggi namun berpotensi besar, seperti ekonomi hijau atau digital, dihindari karena takut dipidana.
  3. Lumpuhkan Fungsi Intermediasi: Fungsi utama bank sebagai penyalur dana lumpuh karena ketakutan, memperlambat seluruh mesin ekonomi.
  4. Brain Drain: Bankir terbaik enggan mengambil posisi penting di bidang perkreditan dan beralih ke bidang yang lebih aman.

Lantas, bagaimana jalan tengahnya? Mencegah korupsi tanpa mematikan ekonomi?

  1. Pencegahan Ex-Ante, Bukan Penindakan Ex-Post: KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian bersama OJK harus membantu membangun sistem yang kebal korupsi sejak awal.
  2. Pisahkan Maladministrasi, Kelalaian, dan Kejahatan: Tidak semua kredit macet adalah korupsi. Harus ada parameter jelas untuk membedakan antara korupsi (suap, gratifikasi, pemerasan) dengan maladministrasi/kelalaian.
  3. Business Judgment Rule: Keputusan sudah diambil profesional berdasarkan data saat itu, namun gagal karena faktor eksternal tak terduga.
  4. Forum Dialog Permanen: Pemerintah, OJK, dan aparat penegak hukum perlu menyamakan persepsi, membangun protokol, dan mencegah tindakan kontraproduktif. OJK harus menjadi pemimpin utama dalam forum ini.

Peringatan KPK memang penting, tetapi jika berlebihan justru menimbulkan kepanikan dan kelumpuhan. Kebijakan Rp200 triliun adalah suntikan adrenalin untuk ekonomi Indonesia. Jangan sampai niat baik memberantas korupsi justru memutus selang infus tersebut.

Indonesia membutuhkan penegakan hukum, bukan kriminalisasi atas risiko bisnis. Bankir harus dijamin perlindungannya selama bekerja profesional dan berhati-hati. KPK jangan menjadi "teror" baru bagi perbankan.

Sudah seharusnya KPK tidak melanjutkan "mashab" kriminalisasi kredit macet. Tidak lucu jika sebelum kredit cair meminta fatwa KPK/Kejaksaan/Kepolisian bahwa kredit bebas korupsi.

Jika kriminalisasi terus berlanjut, bank lebih baik membeli SRBI dan SBN saja. Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan, membereskan pasal karet kredit macet yang dianggap korupsi. Itu jika ingin pertumbuhan berkualitas 8% lewat jalur kredit perbankan.

Scroll to Top