Usulan Pemakzulan Gibran: Mungkinkah Terjadi? Analisis Hukum dan Politik

Forum Purnawirawan Prajurit TNI menghembuskan wacana kontroversial: pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari kursi wakil presiden. Namun, seberapa realistis gagasan ini? Analis hukum dan politik sepakat, jalan menuju pemakzulan teramat terjal.

Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai dasar hukum untuk memakzulkan putra sulung Jokowi ini sangat lemah. Alasan perubahan aturan batas usia yang mengantarkan Gibran menjadi cawapres pun, menurutnya, tidak cukup kuat.

"Gibran itu satu paket dengan Prabowo dalam pilpres. Tidak mungkin hanya Gibran yang disalahkan," tegas Bivitri. Ia menambahkan, satu-satunya celah adalah jika Gibran tertangkap melakukan tindakan tercela sendirian, seperti mabuk atau korupsi. Itupun bukan perkara mudah.

Pengamat politik dari BRIN, Firman Noor, sependapat. Menurutnya, Prabowo masih membutuhkan Jokowi untuk menjaga stabilitas dan kelanggengan kekuasaannya. "Prabowo masih melihat Jokowi sebagai elemen penting yang tidak bisa ditinggalkan," ujarnya.

Kendala Tata Negara yang Berat

Proses pemberhentian presiden atau wakil presiden diatur ketat dalam UUD 1945. Pasal 7A menyebutkan bahwa pemakzulan hanya bisa dilakukan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan negara, korupsi, atau perbuatan tercela.

Bivitri menegaskan, mencari landasan hukum yang kuat untuk memakzulkan Gibran sangat sulit. Putusan MK terkait sengketa pilpres sudah menyatakan tidak ada pelanggaran hukum. Pelanggaran etika dalam putusan MK Nomor 90 pun dinilai lemah.

Proses pemakzulan itu sendiri sangat rumit dan panjang. DPR harus mengajukan permintaan ke MK untuk memeriksa dan mengadili. Permintaan ini harus didukung oleh minimal 2/3 anggota DPR. Jika MK memutuskan adanya pelanggaran, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usulan ke MPR. Terakhir, MPR mengambil keputusan yang harus dihadiri minimal ¾ anggota dan disetujui minimal 2/3 anggota yang hadir.

Politik Jadi Penentu

Bivitri menambahkan, proses ini akan melewati negosiasi politik yang rumit. Apalagi, tujuh dari delapan fraksi di DPR merupakan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. "Sangat-sangat sulit, kecuali fraksi yang dikuasai Prabowo itu kompak," ujarnya.

Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyarankan agar DPR memulai dengan isu-isu yang pernah menerpa Gibran, seperti dugaan ijazah palsu atau isu "Fufufafa". Jika ada bukti kuat, proses impeachment bisa dilanjutkan.

Pesan di Balik Usulan

Firman Noor melihat usulan pemakzulan ini sebagai ekspresi kekecewaan atas kapasitas Gibran yang dianggap belum mumpuni. Ia juga menyoroti proses Gibran menjadi wapres yang dinilai melalui nepotisme.

Bivitri menilai usulan ini lebih untuk "mengguncangkan" wacana tentang adanya matahari kembar dalam pemerintahan, merujuk pada Prabowo dan Jokowi. Ia juga melihat adanya persaingan politik antara TNI dan kepolisian dalam percaturan politik.

Respons Terhadap Tuntutan

Presiden Prabowo menghargai dan memahami pernyataan sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Namun, ia tidak bisa memberikan respons spontan karena perlu mempelajari setiap poin yang diajukan.

Ketua MPR Ahmad Muzani menegaskan bahwa Prabowo dan Gibran adalah pemimpin negara yang sah secara konstitusional. Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, juga tidak setuju dengan usulan pemakzulan karena tidak ada skandal yang mendasarinya.

Adik Gibran, Kaesang Pangarep, juga menyebut bahwa presiden dan wakil presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat sesuai konstitusi.

Scroll to Top